Ah, mana ada ceritanya Gajah Mada bertarung dengan Gajah Ahmada?
Siapa itu Gajah Ahmada? Nama preman kampung?
Penulis kayaknya kurang kerjaan deh, memlesetkan nama Maha Patih Gajah Mada jadi kearab-araban. Pasti penulisnya sebangsa kadrun.
Eits, tunggu dulu dong. Pertarungan antara Gajah Mada melawan Gajah Ahmada memang benar-benar terjadi. Tetapi, bukan pertarungan layaknya adegan film kolosal, satu lawan satu adu kedigdayaan. Pertarungan yang kumaksudkan di sini adalah pertarungan memperebutkan kebenaran sejarah.
Pada pertengahan 2017 lalu, dunia literasi Indonesia dikejutkan dengan kontroversi seputar tokoh Gajah Mada. Sebuah buku yang berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta dan Sejarah Yang Tersembunyi yang diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PDM Yogyakarta mengajukan wacana Gajah Mada adalah seorang muslim. Buku ini terbit pertama kali pada 2010, namun wacana bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam baru viral pada pertengahan 2017, seiring dengan viralnya penyebutan Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada.
Banyak yang membantah informasi dari buku tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai hasil otak-atik gathuk (asal nyambung), dan tidak sedikit pula yang menertawakan. Namun, penulis buku Herman Sinung Janutama dan Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Rinto Tri Nugroho menanggapi enteng sindiran dan cibiran di media sosial terhadap teori yang mereka ajukan bahwa Majapahit adalah kesultanan islam. Menurut Rinto, kajian itu didasari anggapan bahwa ada pembalikan sejarah masa lalu Nusantara oleh peneliti kolonial.
Rinto mengatakan riset yang digunakan tim peneliti adalah kritik metodologi sejarah. Â Kajian dalam buku itu sengaja berniat membantah teori sejarah tentang Majapahit yang sudah mapan di kalangan akademikus, yakni bahwa Wilwatikta ialah kerajaan Hindu-Budha. Makanya, banyak bukti, yang dianggap tak relevan, oleh para sejarawan dan antropolog, justru jadi sumber primer bagi mereka.
Salah satu sumber primer yang menjadi rujukan tim peneliti adalah adanya gambar lambang Surya Majapahit di komplek pemakaman Maulana Malik Ibrahim, Gresik. Lambang Surya Majapahit di sana menurut pengamatan Rinto bertuliskan lafaz Arab berbunyi "Shifat, Asma, Ma'rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat". Sedangkan di museum Trowulan, tim peneliti melihat benda purbakala kepeng emas bertuliskan "La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah".
"Penjaga museum bilang tulisan di kepeng itu huruf Cina, menurut kami itu jelas 'La Ilaha Illallah'," kata Rinto.
Dari hasil penelusuran tim peneliti ke beberapa makam keramat, museum dan pengamatan pada naskah-naskah kuno dengan basis informasi cerita lisan serta daftar silsilah raja jawa, tim peneliti kemudian menyimpulkan Majapahit kerajaan Islam. Rinto meyakini Raden Wijaya, pendiri Majapahit, adalah muslim. Bahkan, Raja Kediri Jayabaya, yang tersohor dengan ramalannya, juga muslim.