Tengah malam, Edhy tampak duduk termenung di meja rias istrinya. Selembar kertas kosong tergeletak di meja.
Setelah menoleh ke belakang dan memastikan istrinya sudah tertidur pulas, Edhy mengambil kertas kosong itu lalu menulis:
"Istriku...
Jika engkau bumi, akulah mentari...
Aku menyinari dirimu, dan dikau selalu mengharapkan hangatnya sinarku.
Lalu terpikir olehku, bukankah Tuhan menciptakan aku bukan hanya untuk bumi?
Masih ada planet-planet lain yang juga mengharapkan hangatnya sinarku.
Jadi istriku...
Relakanlah aku menyinari planet lain. Ijinkan planet-planet itu merasakan hangatnya sinarku, merasakan faedah keberadaanku. Karena itu sudah kodratnya, dan Tuhan pun tak marah."
Setelah membaca ulang surat itu, Edhy tersenyum. Lalu, diletakkannya surat itu di sebelah istrinya yang sedang tertidur pulas, dengan harapan begitu bangun istrinya bisa langsung membaca suratnya.Â
Keesokan harinya,Edhy mendapati dirinya bangun sendirian. Tidak didapatinya sang istri di sampingnya seperti biasa. Sebagai gantinya, sepucuk kertas merah muda tergeletak di atas tempat tidur. Dibukanya kertas itu dan terlihat olehnya tulisan tangan khas istrinya:Â
"Suamiku, bila kau memang mentari, sang surya penebar cahaya, aku rela kau berikan sinarmu kepada setiap planet yang pernah Tuhan ciptakan. Karna mereka juga seperti aku, butuh kehangatan sinarmu. Dan akupun juga tak akan merasa kurang dengan pencahayaanmu.
Tapi, sadarlah suamiku....
Bila kau hanya sejengkal lilin yang berkekuatan 5 watt, jangan bermimpi menyinari planet lain!!! Karena kamar kita yang kecil pun belum sanggup kau terangi..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H