Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Aah, Gue Sudah Baca Bukunya"

24 November 2020   21:27 Diperbarui: 24 November 2020   21:53 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mentang-mentang kita pernah membaca lantas kita anggap remeh orang yang memberitahu ilmu itu (ilustrasi: unsplash.com/Kimberley Farmer)

Konon, ada pejabat yang mengomentari foto pejabat lain sedang membaca buku. Dengan lagak sok tahu, pejabat ini menyombongkan diri sudah membaca buku itu 18 tahun yang lalu. Padahal, buku itu baru terbit 2 tahun yang lalu.

Namanya juga konon, kebenarannya bisa diralat. Mungkin saja sang pejabat itu keseleo lidah. Maunya berkata "Sudah baca sejak awal 2020" keseleo angka tahunnya menjadi 2002.

Tapi sudahlah. Tak perlu kita perpanjang urusannya. Biarlah pejabat itu sendiri yang mengklarifikasi.

Kalau kita bicarakan terus takutnya jadi ghibah. Apalagi kalau kita sebut nama pejabatnya, bisa-bisa kita kena UU ITU.

Saya nulis ini cuma ingin menyoroti kecenderungan kita yang sok tahu apabila diberi ilmu.

"Aah, sudah tau!", atau, "Aah, gue sudah baca bukunya."

Pernah kan pernyataan seperti itu terbersit di hati kala kita diberitahu tentang suatu ilmu?

Entah melalui lisan kita diberitahu. Entah melalui tulisan kita diberitahu. Kita sikapi ilmu yang pernah kita ketahui itu bak angin lalu.

Inilah bentuk kesombongan kita pada ilmu pengetahuan. Mentang-mentang sudah pernah membaca atau sudah pernah diberitahu, lantas kita anggap remeh orang yang memberitahu kita perihal ilmu-ilmu yang pernah kita baca dan kita ketahui sebelumnya.

Padahal kita tahu sendiri, manusia itu ditakdirkan memiliki sifat lupa. Tak ada manusia yang otaknya super cemerlang bisa menyimpan memori dan ilmu sedemikian banyaknya, lalu mengingatnya kembali seiring bertambahnya usia.

Andai saja ilmu itu bisa berkata. Andai saja suara ilmu yang kita miliki bisa kita dengar. Mungkin kita akan mendengar ia berkata,

"Benar, tuan.  Engkau telah mengetahui tentang aku. Tetapi, apa salahnya bila kau terima (lagi) dengan lapang hati nasihat orang yang membicarakan aku? Bukankah semakin banyak pengingat, kau akan semakin mengingatku?

Karena boleh jadi bila tak diingatkan, esok hari kau akan melupakan aku. Atau, boleh jadi selama ini kau memang tidak melupakan aku dari ingatanmu, tetapi engkau telah melupakan aku dari AMALMU."

Itulah suara ilmu yang kita miliki. Dia mengingatkan kodrat kita sebagai manusia dengan sifat pelupa. Lebih dari itu, ia mengingatkan kita bahwa dirinya tidak akan berarti selama kita tidak mengamalkan ilmu yang sudah kita miliki.

Imam Syafi'i pernah berkata, "Ilmu itu BUKAN YANG DIHAFAL, tapi YANG BERMANFAAT!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun