Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nak, Maafkan Kami Jika Hari Minggumu Tak Seindah Zaman Dahulu

22 November 2020   07:13 Diperbarui: 28 April 2021   23:58 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap hari, ayah lihat tanganmu tak lepas dari kotak ajaib yang kita sebut ponsel pintar itu. Wajahmu menunduk, pikiranmu tenggelam dan bercabang di antara pelajaran sekolah dan gim-gim online yang selalu kamu mainkan. Rasanya, tak ada beda antara hari Senin dan hari Minggu.

Padahal dulu nak, hari Minggu adalah hari yang paling indah. Hari yang paling dinanti-nanti semua anak seperti saat ayah kecil dulu. Sebab, hanya di hari itulah anak-anak bisa menyaksikan boneka si Unyil dan kawan-kawannya.

Di hari Minggu pula kami bisa merasa seperti jagoan dengan merubah diri menjadi He-Man, Thundercats, Silver Hawk atau Flash Gordon. Sekarang, ayah bahkan tak mengerti mengapa kamu menggilai gim yang tak jelas bentuk rupa tokoh utamanya.  

Setelah menonton film-film kartun, ayah lalu bermain bersama teman-teman sebaya di lapangan sekolah.

Permainan kami tidak sama seperti permainanmu sekarang. Kamu menyebutnya "mabar" atau main bersama, padahal kenyataannya kamu sendirian di dalam kamar. Dan teman-temanmu juga sendirian di rumah mereka masing-masing.

Kami tak seperti itu, Nak. Yang namanya "main bersama" ya bermain bersama-sama, saling bertatap muka.

Oh, banyak sekali permainan mengasyikkan yang sering kami mainkan waktu itu. Benteng-bentengan, patelele, gobak sodor, bahkan perang-perangan dengan senjata dari pelepah daun pisang.

Sore menjelang, kami pun pulang dengan pakaian kotor penuh debu atau lumpur. Tapi hati kami riang gembira. Di rumah, para jagoan kami seperti Thundercats atau Silverhawk sudah menyambut kami di layar kaca.

Selepas Maghrib, kami mengaji di surau. Derai tawa kami mengiringi lantunan ayat suci yang dibaca terpatah-patah oleh salah seorang teman kami. Sarung yang sebelumnya kami gunakan untuk salat sudah berubah menjadi penutup muka a la ninja.

Saat malam merangkak, ada satu acara yang tak boleh kelewatan sebelum kami beranjak ke peraduan: Dunia Dalam Berita.

Menyaksikan acara itu, ayah seolah menjadi profesor yang tahu segalanya. Berita perang Irak dan Iran yang sengit sering membuat ayah lupa bahwa ternyata di negara kita rakyatnya sendiri sedang dibohongi oleh laporan Sidang Paripurna yang hanya punya satu kata "SETUJU". 

Selepas acara Dunia Dalam Berita, ayah selalu berharap stasiun televisi, yang saat itu hanya ada satu, lupa menayangkan Laporan Khusus. Sebuah laporan yang benar-benar membosankan, sampai ayah heran apa gunanya laporan seperti itu.

Yang ayah tahu, Laporan Khusus waktu itu hanya berisi orang-orang tua yang sedang berusaha "mencari muka" dengan cara bercerita tentang kemajuan pertanian dan pengendalian harga sembako. Mulai dari harga bawang, cabe keriting, tomat, dan lain lain.

Kalau tidak ada Laporan Khusus, biasanya ayah mencuri-curi waktu untuk menonton sinetron. Kamu tahu Nak, sinetron jaman dulu jauh berbeda dengan sinetron hari ini yang seolah tak berujung. Sinetron yang mengajarkan tentang hidup mewah dan pamer kekayaan, asmara gila, perselingkuhan, aurat, dan setan gentayangan.

Jangan samakan pula sinetron jaman dulu dengan drama Korea yang digandrungi kakak dan ibumu. Drama televisi yang di dalamnya penuh intrik, kegalauan asmara dan operasi plastik.

Mungkin kamu menganggap ayah kampungan. Tak mengapa, Nak. Begitulah ayahmu ini. Lebih suka melihat Sayekti dan Hanafi, Rumah Masa Depan atau Losmen yang menggambarkan realita kehidupan sehari-hari.

Nak, di saat kamu sering lupa waktu dengan kotak ajaib yang mampu menyihirmu itu, stasiun televisi jaman ayah dulu bisa mengajarkan bagaimana mengatur jadwal agar ayah tahu kapan harus tidur, belajar dan bermain.

Nak, memang benar beda jaman beda perlakuan. Setiap generasi memiliki jamannya masing-masing.

Ayah tak hendak memaksamu berperilaku seperti jaman dulu. Hanya saja, melalui kenangan yang ayah sampaikan ini, ayah ingin meminta maaf bila hari Minggumu tak seindah jaman ayah dulu. 

Maafkan kami yang tak bisa membawakan kreativitas yang mendidik, agar kamu bisa menghabiskan hari Minggumu dengan lebih menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun