Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Pernah Membandingkan Anak Kita dengan Anak Lainnya

21 November 2020   07:06 Diperbarui: 21 November 2020   07:16 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak ada anak yang sempurna sebagaimana kita orangtua tidak sempurna dalam mendidik anak (dokpri)

Ini adalah secuil pengalaman saya sebagai orangtua. Kejadiannya sewaktu kedua anak saya masih duduk di bangku SD. Putri sulung saya di kelas 4, sedangkan adiknya laki-laki di kelas 1.

Setelah menerima rapor, wajah sang kakak berseri-seri karena targetnya terlampaui.  Dari 10 besar menjadi 4 besar di kelasnya. Sementara sang adik, terlihat cuek-cuek saja meski peringkatnya harus turun lumayan drastis. 

Saat keduanya tiba di rumah usai mengambil rapor di sekolah, sang kakak dengan antusias bercerita perihal prestasinya dan nilai rapor adiknya yang anjlok. Kakak istri saya yang kebetulan sedang menginap di rumah kemudian menasehati sang adik, agar lebih giat belajar lagi dan mengurangi waktu bermainnya. Hal yang sama diutarakan juga Eyangnya, yang mengatakan turunnya nilai sang adik lantaran terlalu banyak bermain.

Awalnya, saya tidak menaruh perhatian khusus pada momen tersebut. Baru ketika saya masuk kamar, dan mendapati sang adik menangis sampai sedemikian tersedunya, saya mulai menaruh perhatian penuh: Ada apa dengan si bungsu ketika dinasehati bibi dan eyangnya tadi?

Saya lalu bertanya pada istri, mengapa adik tiba-tiba menangis usai dinasehati eyangnya?

Istri saya pun bercerita, mungkin sang adik merasa tidak dihargai jerih payahnya selama masa sekolah kemarin. Menurut istri saya, sang adik memang banyak bermain, tapi dia berusaha keras dalam hal pelajaran sekolah.

Setiap PR dari sekolah, pasti dikerjakannya dahulu sampai selesai sebelum dia bermain dengan temannya. Pernah ketika ada waktu libur seminggu, sang adik diberi PR yang menumpuk dari sekolahnya. Usai pulang sekolah, dia bergegas mengerjakan PR itu, sampai selesai semua. Istri saya malah jadi khawatir, karena sang adik mengerjakannya mulai pulang sekolah sampai sore hari tanpa mau berhenti! Dia hanya berhenti sejenak ketika adzan tiba dan pergi ke masjid. Setelah itu, dilanjutkannya kembali pekerjaan rumahnya tersebut.

Begitu pula jika ada tugas-tugas pra karya sekolah, sang adik berusaha mengerjakannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Meski hasilnya jadi seadanya.

Hargai Setiap Kelebihan dan Kekurangan Anak Kita

Dari situlah kemudian saya berpikir, mungkin perasaan sang adik terluka karena orangtua hanya ingin melihat hasil akhir, tapi tidak mau melihat dan menghargai proses yang dia kerjakan.

Setiap anak pasti punya bakat, kemampuan dan keistimewaan yang berbeda. Begitu pula kedua anak saya. Sang kakak, memang relatif berbakat dalam kemampuan akademik. Cepat menangkap pelajaran, mudah dalam hal menghafal, dan senang membaca. Sebuah kebiasaan yang dibawanya semenjak masih berusia 5 tahun.

Sementara sang adik, kemampuan akademiknya tidak begitu moncer, sedang-sedang saja. Kesukaannya bermain, baik dengan teman-temannnya maupun bermain sendiri dengan koleksi mobil hot wheelnya.

Dia tidak cakap menghafal, terutama hafalan yang panjang-panjang. Sang adik lebih memiliki bakat kreativitas. Saking kreatifnya, dari beberapa hasil ulangan/ujian yang sudah dibagikan, dia menjawab pertanyaan yang tidak diketahuinya dengan jawaban-jawaban kreatif, yang membuat saya dan istri sampai tertawa saat membacanya.

Di luar kelemahan akademiknya, sang adik mempunyai satu keistimewaan yang membuat saya bangga. Dia selalu pergi ke masjid, setiap kali adzan berkumandang. Tak peduli sesibuk/sesenang apapun dia bermain, setiap ada adzan dhuhur, ashar, maghrib dan isya', dia bergegas ke masjid. Untuk sholat subuh dia memang belum bisa disiplin. Hingga semua jamaah tetap masjid di kampung mengenalnya, dan merasa kehilangan setiap kali sang adik absen salat berjamaah di masjid. Kebiasaannya itu akhirnya menular pada beberapa teman bermainnya.

Setiap orang tua memang berharap anak-anak mereka tumbuh sempurna dengan berbagai prestasi yang diinginkan. Tapi, percayalah, tak ada anak yang sempurna sebagaimana kita orangtua juga tidak sempurna dalam hal mendidik anak.

Itu sebabnya, jangan pernah sekali-kali membandingkan anak-anak kita dengan saudaranya sendiri, apalagi dengan anak-anak orang lain. Baik dalam hal prestasi akademik, maupun bakat serta kemampuan dan keistimewaan lainnya.

Hargai semua yang ada pada anak kita, sekecil apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun