"Ya, tapi kita kan juga diperintahkan untuk ikhtiar. Kalau hanya 'neriman' seperti ini, di mana ikhtiarnya?" kataku membujuk Ibu.
Di antara tujuh bersaudara, aku sering diandalkan saudaraku yang lain untuk membujuk Ibu. Mungkin karena sejak kecil aku cenderung dekat dan sering jadi tempat curhat Ibu. Sehingga ketika Ibu sakit parah akibat sindrom Mielodisplasia (kelainan yang disebabkan oleh sel darah yang terbentuk tidak sempurna alias disfungsional), aku ditelpon agar segera pulang.
Berulangkali diminta kakak dan adikku yang tinggal di Surabaya, Ibu selalu menolak untuk dibawa ke dokter. Seolah sudah pasrah dengan sakit yang dideritanya. Hingga kemudian aku berhasil membujuk Ibu untuk dirawat di rumah sakit.
Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, tapi nyawa manusia berada di tangan Sang Pencipta. Baru beberapa hari di rawat di rumah sakit, Ibu dipanggil menghadap Sang Khaliq.
Meski Ibu telah tiada, namun pelajarannya tentang arti kesabaran selalu membekas dalam hati. Bahwa sabar itu keindahan. Ia sebuah kosakata yang paling menentramkan. Sebab dengan sabar hidup ini bisa dinikmati penuh kebahagiaan. Sungguh, kelak orang yang bersabar atas ujian dan cobaan akan mendapat kemuliaan dan orang lain akan iri melihat balasannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang beriman, yang mana ia berbaur dengan manusia dan bersabar atas perbuatan buruk mereka, lebih besar pahalanya daripada seorang yang beriman, yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar atas tindakan buruk mereka" (HR. Tirmizi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H