Aku punya teori nih:
Artikel yang punya keterlibatan tinggi di media sosial tidak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah pembaca.
Sederhananya, artikel yang banyak mendapat 'like' dan komentar di media sosial belum tentu banyak dibaca pengunjung.
Aku beri bukti berikut ini:
Kamu bisa melihat sendiri, artikel HRS di halaman Facebook Kompasiana ditanggapi banyak netizen. Dalam kurun waktu 8 jam penayangan, artikel ini mendapat sekitar 1900-an 'like' dan emoji tertawa serta menuai 1200-an komentar.
Dengan tingkat keterlibatan (engangement) setinggi itu, artikel tersebut semestinya mendapat banyak pembaca pula. Namun faktanya tidak demikian.
Kita bisa lihat di halaman Facebook yang sama artikel ini hanya dibagikan 19 kali. Dan dalam kurun waktu yang sama pula, artikel tersebut hanya dibaca 134 pengunjung (menurut perhitungan algoritma Kompasiana).
Mengapa bisa terjadi anomali seperti ini?
Teoriku mengatakan ada dua faktor yang menjadi penyebab artikel kita sepi pembaca meskipun ramai di media sosial.
Rendahnya Literasi Fungsional Pengguna Media Sosial
Pertama, sebagian besar pengguna media sosial di Indonesia buta huruf fungsional. Ingat, aku tidak mengatakan mereka buta huruf karena sudah pasti seseorang yang punya akun media sosial melek huruf alias bisa membaca dan menulis.
Buta huruf dan buta huruf fungsional itu berbeda. Mengutip definisi dari UNESCO, seseorang dikatakan buta huruf fungsional (functionally illiterate) apabila tidak dapat terlibat dalam semua kegiatan di mana keaksaraan diperlukan untuk berfungsi efektif dari kelompok dan komunitasnya dan juga untuk memungkinkan dia untuk terus menggunakan membaca, menulis, dan perhitungan untuk dirinya sendiri dan pengembangan masyarakat.
Singkatnya, perbedaan mendasar antara buta huruf dan buta huruf fungsional terletak pada fungsionalitas pemahaman seseorang terhadap apa yang dia baca dan dia tuliskan.
Kebanyakan pengguna media sosial di Indonesia lebih suka langsung terlibat dengan memberi tanda 'like' dan berkomentar daripada membaca terlebih dahulu artikel yang dibagikan. Gerak jari tangan lebih cepat daripada respon neuron-neuron dalam otak yang menggerakkan mata untuk membaca.
Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Yang memberi tanda 'like' dan berkomentar lebih banyak daripada yang membaca artikelnya.
Judul Sudah Memberi tahu Isi Artikel
Kedua, ini masih berhubungan dengan keengganan pengguna media sosial untuk membaca, selain karena alasan buta huruf fungsional.
Judul artikel tersebut sudah memberitahu kandungan isi artikelnya. Tanpa mengklik tautan artikelnya, kita sudah tahu apa isi di dalamnya.
Judulnya memang sangat aktual, dan kontroversial. Sayangnya, judul yang diberikan tidak memancing rasa ingin tahu pembaca.
Hanya orang-orang yang punya waktu lebih, punya minat baca yang tinggi dan teman-teman dekat penulis saja yang mau mengklik tautan artikel tersebut. Selebihnya, cukup memberi tanda 'like' dan berkomentar sesuai kata hati.
Kesimpulan
Banyak sekali artikel-artikel di Kompasiana yang punya keterlibatan tinggi di media sosial, tapi tingkat keterbacaannya rendah. Terutama artikel-artikel dengan tema yang aktual dan judulnya kontroversial.
Di satu sisi, ada beberapa artikel yang hampir sepi di media sosial, tapi dibaca banyak pengunjung Kompasiana.
Sesekali, cobalah membandingkan tingkat keterlibatan dan tingkat keterbacaan artikelmu di Kompasiana. Kamu pasti akan setuju dengan teoriku ini, bahwa ramai di media sosial belum tentu dibaca banyak orang.Â
Jadi, jangan bangga dulu bila artikelmu mendapat banyak tanggapan di media sosial Kompasiana. Karena belum tentu semua yang menanggapi itu membaca artikelmu.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI