Saat ini, tak ada tokoh yang memiliki daya tarik sekuat Habib Rizieq Shihab (HRS). Tidak Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Apalagi Puan Maharani. Tidak pula Presiden Jokowi.
Terlepas dari segala kontroversinya, kita harus jujur mengakui daya tarik seorang HRS. Bayangkan saja, kedatangannya disambut ribuan pendukung dan simpatisan. Kepulangannya diberitakan banyak media nasional.
Profil dan sepak terjangnya diulas terus menerus, diperbincangkan dan dihubung-hubungkan dengan segala hal yang bahkan sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali.
Tiba-tiba saja banyak yang merasa perlu dan harus mendompleng popularitas HRS. Lihat saja di Kompasiana, berapa banyak artikel yang mengulas HRS, apapun motif dan bentuk ulasannya.
Dengan daya tarik yang sangat kuat dan ketokohannya yang diakui banyak ulama sehaluan, mungkinkah HRS menjadi salah satu kandidat calon presiden dalam pilpres 2024 mendatang?
Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Dalam politik, tak ada kawan dan musuh yang abadi. Dalam politik, yang ada hanya kepentingan bersama untuk demi tercapainya satu tujuan.
Menjadikan HRS sebagai kandidat capres sangat mungkin dilakukan partai politik di Indonesia. Masalahnya, Politik di Indonesia itu menganut hukum dagang. Setiap keputusan selalu ada perhitungan untung ruginya. Tak ada makan siang yang gratis, begitu kata orang-orang.
Semua partai politik di Indonesia tentu punya perhitungan matang tentang siapa saja yang akan meramaikan bursa calon presiden 2024. Ada terlalu banyak nama yang punya nilai jual dan punya tingkat elektabilitas yang tinggi, sekalipun daya tariknya tidak sekuat HRS.
Popularitas semata juga tidak menjamin seorang tokoh bisa masuk dalam radar partai politik untuk dijadikan kandidat calon presiden. Hukum politik dagang sapi memungkinkan popularitas seseorang bisa dikerek naik seketika berkat bantuan media dan lembaga survei.
Sekalipun HRS punya daya tarik yang begitu kuat, peluangnya untuk menjadi capres 2024 tergantung seberapa besar kemampuannya meyakinkan partai politik di Indonesia dan pihak-pihak yang selama ini berseberangan dengannya.
HRS harus mampu mengeliminir kasus-kasus yang menjeratnya. Di luar itu, HRS juga harus mampu menunjukkan sikap layaknya tokoh nasional yang bisa diterima semua pihak, bukan hanya dari golongan yang sehaluan saja.
Ini penting. Kita butuh pemimpin yang mampu menyatukan semua lapisan masyarakat setelah sekian lama bangsa kita terpolarisasi menjadi dua kutub.
Belakangan ini, ideologi bangsa kita semakin tergerus. Ada yang merasa paling NKRI, hingga menuduh pihak yang berseberangan adalah kelompok radikal. Ada yang merasa paling agamis, hingga tidak mau berjabat tangan dengan mereka yang tidak sepaham. Sikap toleransi yang menjadi salah satu pilar karakter bangsa kini hanya menjadi kata-kata pemanis saja.
Kita memerlukan pemimpin yang bisa berdiri di atas semua golongan. Tak ada gunanya punya pemimpin yang populer bila semangat persatuan dan kesatuan diantara kita tidak dijaga. Pembangunan yang dilakukan pemerintah terpilih tidak akan dirasakan dampak nyatanya bila masyarakatnya sendiri masih terkotak-kotak.
Yang menang akan semakin jumawa, merasa pemerintahan ini milik mereka. Merasa pembangunan yang sedang dilakukan hanya mereka sendiri yang boleh menikmati. Sementara yang kalah akan semakin terpinggirkan, dan dikhawatirkan justru akan menumbuhkan benih-benih kebencian pada pihak pemenang.
Mengingat betapa urgensinya kita menjaga rasa persatuan yang sudah hampir terkoyak ini, sangat patut apabila dalam memilih pemimpin negara ini ke depan, narasi dan solusi tentang bagaimana cara mempersatukan semua elemen anak bangsa menjadi salah satu poin pertimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H