Belum luntur dari ingatan masyarakat kasus pemakaian mobil dinas Puspom TNI AD, publik kembali dihebohkan dengan dua kasus yang serupa tapi tak sama.
Pada 2 Oktober 2020 lalu, sebuah video yang memperlihatkan seorang warga keturunan menggunaka mobil dinas TNI dengan plat nomor 3688-34 viral di media sosial. Mobil dinas jenis Toyota Fortuner ini biasanya digunakan oleh perwira menengah denga pangkat Kolonel.
Dalam video, warga keturunan yang menggunakan mobil dinas tersebut awalnya mengaku sebagai anggota TNI.
"Kenapa lu tanya gua? Yang boleh tanya gua itu polisi militer," ujar laki-laki tersebut sembari masuk mobil dinas TNI AD yang dibawanya. Dari rekaman, terlihat di belakang pengemudi terdapat pakaian dinas harian (PDH) TNI AD dengan tanda kepangkatan Kapten.
Warga yang tidak percaya dengan pengakuan laki-laki tersebut terus mendesak, hingga laki-laki yang sudah berumur itu mengaku kalau dirinya bukan prajurit TNI AD yang aktif. Â Dia menyebut, pengakuan sebagai tentara hanya candaan belaka.
Kasus tersebut akhirnya ditangani Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad). Dari hasil penelusuran nomor registrasi, mobil dinas Toyota Fortuner itu dipinjampakaikan Puspomad kepada Kolonel CPM (Purnawirawan) Bagus Heru Sucahyo. Puspomad meminjamkan nomor registrasi tersebut mulai 2017 hingga saat ini. Sedangkan Suherman Sunata, alias Ahon yang menggunakan mobil dinas tersebut mengaku meminjamnya dari Kolonel CPM (Purn) Bagus Heru Sucahyo.
Kasus penyalahgunaan kendaraan dinas milik aparat kembali terjadi. Kali ini bukan pinjam pakai, melainkan penggunaan mobil patroli pengawal (patwal) kepolisian untuk keperluan yang tidak pada tempatnya.
Sebuah video yang memperlihatkan 3 warga keturunan tengah jogging di pinggir jalan raya dengan didahului mobil patroli pengawal viral di media sosial Twitter. Dari rekaman video tersebut, lokasi kejadian diduga berada di sepanjang jalan By Pass Ngurah Rai, Bali, karena sebuah papan penunjuk yang memberi pertanda arah ke Nusa Dua tampak jelas terlihat.
Unggahan video tersebut tak urung membuat mantan Kepala Staff Umum TNI, Letjend (Purn) Suryo Wibowo ikut berkomentar sarkas.
"Melindungi dan Melayani Masyarakat," tulis Letjend (Purn) Suryo Wibowo di akun instagramnya.
Hingga saat ini, belum ada keterangan apapun dari pihak Polda Bali terkait viralnya video 3 warga keturunan yang jogging dengan dikawal mobil polisi.
Masih dalam satu putaran hari, publik jagad maya dihebohkan dengan video helikopter yang diduga milik kepolisian tengah mengangkut warga sipil. Video ini pertama kali diunggah akun instagram @dewa45_idn dengan caption 'Bang Jago @divisihumaspolri Sangat Pro Kerjanya. Kebahagian, Kesejahteraan, Keselamatan dan Keamanan Mereka Sangat Di Perhatikan Oleh Pemerintah.
Dalam video, terlihat sebuah helikopter berwarna putih dan biru dengan nomor badan 1108 baru saja mendarat di sebuah lapangan terbuka. Setelah menjejak tanah dengan mesin masih menyala, helikopter itu kemudian menurunkan tiga penumpang dari pintu kanan dan kiri dibantu petugas yang memakai seragam biru. Rekaman video tersebut juga memperlihatkan tulisan Polisi di bagian samping belakangnya. Setelah turun, seorang penumpang tersenyum sambil mengacungkan jempol ke arah kamera.
Tiga kasus penyalahgunaan wewenang atas kendaraan dinas milik aparat tersebut memang tidak bisa dijadikan dasar untuk menghakimi mental aparat kita yang bobrok dan mudah 'dibeli'. Meski sudah bukan rahasia lagi kalau pandangan umum masyarakat mengarah pada stigma negatif tersebut.
Kasus-kasus yang viral ini juga memperlihatkan bagaimana lagak sebagian orang kaya di Indonesia. Mentang-mentang punya banyak uang, mereka pikir bisa berbuat sesuka hati.
"Orang kaya mah bebas," begitu kata banyak orang. Dengan uang segalanya bisa dibeli, termasuk kekuasaan dan privilige tertentu yang tidak bisa didapatkan masyarakat kebanyakan.
Memang, tidak semua aparat bisa "dibeli", dan tidak semua orang kaya atau konglomerat punya lagak bak raja segala raja. Masih banyak aparat yang hidupnya bersih, seperti halnya ada banyak orang kaya yang memilih hidup bersahaja.
Namun, agar kasus-kasus ini tidak memantik kecemburuan sosial terkait SARA di masyarakat, perlu kiranya pihak aparat yang berwenang bisa menjelaskannya, tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H