Melihat tayangan Mata Najwa Episode Cipta Kerja: Mana Fakta Man Dusta pada Rabu (14/10) malam, saya tak habis pikir dengan respon Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G. Plate.
Saat menanggapi pernyataan Remy Hastian, Ketua BEM Seluruh Indonesia bahwa aksi demonstrasi menolak UU Cipta Karya terjadi karena pemerintah tidak mampu menyampaikan informasi (UU Cipta Kerja) dengan jelas dan akuntabel sehingga muncul tuduhan hoaks, jawaban Menkominfo sungguh di luar dugaan.
"Karena memang itu hoaks. Kalau pemerintah sudah bilang versi pemerintah itu hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi?"
Mahasiswa melakukan demonstrasi karena terkena hoaks? Ini jawaban Remy Hastian, Ketua BEM Seluruh Indonesia. #MataNajwaCiptaKerjaManaFaktaManaDusta #MataNajwa pic.twitter.com/sPznuS9GlU--- TRANS7 (@TRANS7) October 14, 2020
Karena Menkominfo bicara dengan nada tinggi, tidak jelas mana titik koma atau tanda baca lainnya, jawaban tersebut akhirnya menghasilkan ambiguitas.
Jika kita tambahkan beberapa tanda koma, pernyataan Menkominfo tersebut menjadi seperti ini:
"Karena memang itu hoaks. Kalau pemerintah sudah bilang, versi pemerintah, itu hoaks, ya dia hoaks."
Pernyataan ini memberi kesan sikap otoriter pemerintah. Bahwa pemerintah itu selalu benar dan tidak boleh dibantah. Sama seperti kebanyakan sikap orangtua pada anaknya.
"Nak, kalau Mama bilang tidak boleh, ya tidak boleh. Jangan membantah."
Sedangkan kalau tanda komanya kita hilangkan sebagian, pernyataan Menkominfo jadi seperti ini:
"Karena memang itu hoaks. Kalau pemerintah sudah bilang versi pemerintah itu hoaks, ya dia hoaks."
Nah, kalau tata kalimatnya begini, beda lagi artinya. Dengan meniadakan tanda koma sebelum frasa 'versi pemerintah' berarti Menkominfo mengatakan (RUU Cipta Kerja) versi pemerintah itu hoaks.
Dalam kaidah argumentasi, respon Menkominfo dalam menanggapi pernyataan Remy Hastian termasuk dalam "strawman-fallacy": mengambil argumen atau poin orang lain, mendistorsi atau membesar-besarkannya dengan cara yang ekstrim, dan kemudian menyerangnya.
Tak salah apabila kemudian Asfinawati, Direktur YLBHI yang menjadi salah satu narasumber di acara yang sama, menyindir pernyataan Menkominfo dengan mengatakan,
"Ciri-ciri orang yang melakukan disinformasi, tidak berani main (menjawab) detail. Lalu mengancam, lalu argumennya itu dilakukan untuk negara."
Dengan kata lain, adanya disinformasi atau hoaks yang selama ini beredar dan dianggap pemerintah menjadi penyebab utama terjadinya aksi demonstrasi, justru karena kesalahan pemerintah itu sendiri.
Menkominfo boleh mengklaim bahwa dalam pembuatan RUU Cipta Kerja pemerintah terlibat di dalamnya sehingga,
"...kami tahu mana yang hoaks mana yang bukan, ini melalui penelitian dan pendalaman dokumen."
Namun, kesimpangsiuran draf RUU yang beredar di masyarakat inilah yang membuat hoaks dan disinformasi itu muncul. Seperti yang kita ketahui, dalam proses pengesahan RUU hingga diserahkan kepada pemerintah, setidaknya ada 4 versi UU Cipta Kerja berdasarkan jumlah halamannya. Yakni 1028 halaman dan 905 halaman saat RUU Cipta Kerja disahkan DPR RI, serta 1035 halaman dan 812 halaman setelah Badan Legislasi DPR merevisinya.
Seperti yang disampaikan ahli hukum tata negara dari UGM, Zainal Arifin,
"Kenapa kemudian ada isu hoaks? Itu penyebabnya adalah ketertutupan dan ketiadaan sosialisasi yang baik soal naskah yang beredar. Dan itu tidak terverifikasi."
Zainal Arifin juga menambahkan, "Dalam ketiadaan informasi ini, negara harusnya jadi helper. Dia tidak langsung putuskan itu hoaks. Harusnya bantu masyarakat untuk memberikan detail yang jelas."
Seandainya pernyataan Menkominfo dalam acara Mata Najwa tersebut menjadi sikap resmi pemerintah terkait adanya hoaks dan disinformasi masalah UU Cipta Kerja, itu sama artinya pemerintah menutup ruang diskusi untuk memperbaiki UU Cipta Kerja itu sendiri. Pemerintah menganggap apa yang sudah mereka lakukan adalah benar, dan menuntut masyarakat untuk mempercayai kebenaran versi pemerintah.