Masyarakat Jawa Timur, khususnya yang berada di Tuban dan Tulungagung dihebohkan dengan penampakan cahaya merah terang yang melintas di langit membentuk garis vertikal tegak lurus pada Sabtu (10/10) malam. Masyarakat kemudian menghubungkan penampakan tersebut dengan mitos Lintang Kemukus atau bintang berekor (komet) yang setiap kali terlihat biasanya diiringi dengan akan datangnya musibah besar.
Kemunculan Lintang Kemukus, 10/10/2020 Tuban, jika ini benar aji-titen orang jawa pertanda Ratu kang geger, perang kang ora uwis2, beras larang emas murah.. pic.twitter.com/JdCITHXi7p--- Ni'am Fauzi (@Koncotanicorp) October 11, 2020
Mitos Lintang Kemukus Berawal Dari Aristoteles
Membaca tetenger atau pertanda alam dan mengaitkannya dengan datangnya bencana tak hanya dikenal dalam budaya masyarakat Jawa. Jauh beribu-ribu tahun yang lampau, masyarakat dunia barat yang dianggap punya budaya lebih modern sudah mengaitkan tanda-tanda alam yang muncul di langit dengan kemungkinan musibah di bumi.
Aristoteles, filsuf Yunani Kuno adalah sosok yang dianggap bertanggung jawab atas mitos penampakan bintang berekor atau komet dan bencana alam yang menyertainya. Pada 372 SM, sebuah komet yang bersinar sangat terang dengan ekor panjang melintas di langit Athena. Aristoteles, yang saat itu menjadi guru bagi Alexander Agung melihat penampakan komet tersebut.
Mulanya Aristoteles tidak memiliki persepsi apapun terhadap penampakan benda langit yang sangat tidak biasa dan belum pernah dilihat siapapun saat itu. Baru setelah pada 373/375 SM (?) daratan Yunani diguncang gempa sangat hebat hingga menenggelamkan kota Helike di teluk Korintus, Aristoteles mulai menghubungkan penampakan bintang berekor dengan datangnya gempa bumi. Hingga kemudian Aristoteles mengeluarkan 'fatwa' bahwa munculnya bintang berekor merupakan pertanda akan datangnya bencana alam. 'Fatwa' dari Aristoteles ini bertahan hingga ribuan tahun kemudian.
Asal Usul Istilah Lintang Kemukus dan Mitosnya Dalam Budaya Jawa
Masyarakat Jawa termasuk salah satu yang terkena miskonsepsi (kesalahan pemahaman) tentang penampakan bintang berekor. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Jawa percaya munculnya bintang berekor biasanya akan disertai dengan datangnya musibah besar.
Dalam kosmologi Jawa, bintang berekor atau komet dikenal dengan nama Lintang Kemukus. Frasa ini berasal dari 2 kata, yakni lintang (bintang) dan kemukus. Kata kemukus sendiri mengandung dua arti, yakni dari akar kata kukus (artinya asap) dan tanaman kemukus (Piper cuceba L) yang pertumbuhannya merambat. Dari akar katanya ini, lintang kemukus kemudian diartikan sebagai bintang yang berasap atau merambat.
Mitos lintang kemukus yang menjadi tetenger atau penanda datangnya bencana muncul pertama kali dalam buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya. Menurut penjelasan sejarawan Universitas Malang, Dwi Cahyono, buku tersebut memuat beberapa pertanda menurut arah kedatangan lintang kemukus.
Misalnya kalau lintang kemukus muncul di barat laut, itu pertanda ada raja yang berebut kekuasaan. Para adipati juga berselisih, berebut kekuasaan. Sementara warga desa bersedih hati. Kerbau dan sapinya banyak yang mati. Hujan dan petir terjadi di musim yang salah. Kekurangan makin meluas dan berlangsung lama. Beras dan padi mahal, namun emas murah.
Apabila ada komet muncul di utara, maknanya ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahannya. Timbul perselisihan yang semakin berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal. Namun harga emas murah.Â
Pertanda terakhir inilah yang kemudian dihubungkan masyarakat dengan penampakan cahaya merah di langit Tuban dan Tulungagung yang dianggap sebagai kemunculan lintang kemukus.
Penampakan Komet dan Musibah yang "menyertainya"
Dalam sejarahnya, ada beberapa penampakan komet yang kemudian dihubungkan masyarakat Jawa dengan peristiwa bencana atau peperangan yang terjadi di Indonesia. Misalnya saat komet Halley melintas dan dapat dilihat oleh hampir seluruh penduduk dunia pada 1910. Oleh masyarakat Jawa, munculnya komet Halley ini kemudian dihubungkan dengan wabah pes yang merenggut ratusan ribu jiwa pada tahun yang sama.
Ada pula penampakan komet Ikeya-Seki yang besarnya menyerupai bulan dengan ekor sangat panjang. Komet yang pertama kali diidentifikasi pada pertengahan September 1965 dan pecahannya terlihat oleh mata telanjang pada akhir Oktober 1965 ini kemudian dihubungkan dengan terjadinya kerusuhan pasca gagalnya pemberontakan G30S/PKI.
Terbaru, masyarakat Yogyakarta dihebohkan dengan kemunculan lintang kemukus di langit tepat di atas Kali Code pada 20 April 2020. Banyak yang bertanya-tanya bencana apa yang akan datang di Indonesia, hingga kemudian tak sedikit yang mengaitkannya dengan pandemi Covid-19 di negeri ini.
Munculnya Lintang Kemukus Juga Dimaknai Datangnya Zaman Keemasan
Munculnya lintang kemukus tidak selamanya dikaitkan dengan pertanda datangnya musibah. Dalam ramalan Jangka Jaya Baya, lintang kemukus menjadi sinyal hadirnya zaman emas. Zaman yang membuat orang-orang bahagia.
Bunyi Jangka Jaya Baya itu adalah: "Sadurunge ana tetenger lintang kemukus, saka arah kidul wetan, lawase pitung wengi, parak esuk bener ilange, bethara Surya jumedhul bebarengan zaman sengsara am-mungkur prihatine, iku tandhane Bathara Indra tumurun mbebantu titah".
Artinya, sebelumnya ada tanda-tanda gaib berupa lintang kemukus dari arah tenggara, selama tujuh malam, hilang pagi hari ketika sang surya datang, maka kesengsaraan manusia akan berakhir pada waktu Batara Indra datang membantu.
Begitu pula dengan yang terdapat di buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu. Jika lintang kemukus muncul di barat tandanya ada penobatan raja. Para pembesar dan orang desa senang. Beras dan padi pun murah. Apa yang ditanam berbuah subur dan cepat menghasilkan. Hujan akan turun deras dan lama. Apapun barang yang dijual-belikan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.
Kelemahan Mitos Lintang Kemukus dan Fakta yang SebenarnyaÂ
Masalah utama dari kepercayaan masyarakat terhadap mitos lintang kemukus adalah interpretasi masyarakat itu sendiri terhadap penampakan benda langit. Planet yang bersinar terang seperti Venus atau Mars, juga beberapa bintang besar seperti Bintang Sirius sering dianggap sebagai lintang kemukus. Bahkan tak jarang benda langit buatan manusia seperti satelit yang sedang mengorbit juga disalahartikan sebagai lintang kemukus.
Padahal, gambaran lintang kemukus dari orang-orang terdahulu seperti Aristoteles atau Prabu Jaya Baya adalah gambaran dari wujud nyata bintang berekor yang bisa dilihat mata telanjang, bukan benda langit teleskopis atau benda-benda buatan manusia yang disengaja atau tidak sedang melintas di langit. Artinya, lintang kemukus yang dimaksud adalah penampakan komet yang benar-benar terpampang nyata oleh mata.
Ketika jaman sudah bertambah modern, benda-benda yang melintas di langit malam dan dilihat mata telanjang bisa bermacam-macam wujud aslinya. Alih-alih lintang kemukus, bisa jadi cahaya merah yang melintas tegak lurus itu roket peluncur satelit Space X misalnya, atau jangan-jangan malah kembang api besar. Apalagi bila arah lintasannya vertikal dan ujung ekornya terlihat datang dari permukaan bumi.
Terlepas dari mitos dan ramalannya, tidak semua penampakan komet diiringi dengan datangnya musibah. Misalnya saat komet Halley kembali melintas dan terlihat dengan sangat jelas oleh penduduk bumi pada Februari 1986, adakah bencana atau musibah yang terjadi saat itu?
Begitu pula dengan bencana alam, tidak selamanya didahului dengan penampakan lintang kemukus. Saat terjadi tsunami Aceh pada 2004, tsunami Pangandaran dan gempa bumi Yogyakarta pada 2006, adakah lintang kemukus yang terlihat masyarakat?
Bagaimana pula dengan meletusnya gunung Krakatau pada Agustus 1883, atau letusan gunung Merapi pada 2010, apakah ada lintang kemukus yang melintasi langit malam sebelumnya?
Satu-satunya potensi bahaya dari lintang kemukus itu terjadi hanya ketika lintasannya berpotongan dengan orbit bumi dan pada saat yang sama baik lintang kemukus dan Bumi sedang berada di titik potong tersebut. Tahu apa akibatnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H