Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi yang Menggagas, DPR yang Kena Imbas

8 Oktober 2020   20:18 Diperbarui: 8 Oktober 2020   20:26 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pidato pelantikan periode keduanya, Presiden Jokowi menyebutkan Omnibus Law sebagai prioritas kerja pemerintah.

"Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Yang pertama, undang-undang Cipta Lapangan Kerja. Kedua, undang-undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus law," kata Jokowi dalam pidato pelantikan 20 Oktober 2019. 

Jokowi mengatakan, lahirnya Omnibus Law berangkat dari ruwetnya birokrasi sehingga menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja.

"Puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus," katanya.

Desakan Jokowi Agar Omnibus Law Cepat Selesai 

Keseriusan Jokowi terhadap lahirnya Omnibus Law ditunjukkannya kembali di awal tahun 2020. Saat memimpin rapat terbatas untuk membahas perkembangan penyusunan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (15/1/2020), kepala negara meminta RUU Cipta Lapangan Kerja segera tuntas.

"Saya minta RUU selesai dalam minggu ini," ujarnya. 

Kepala negara juga meminta jajarannya untuk meningkatkan koordinasi dengan organisasi-organisasi yang terkait dengan RUU Omnibus Law. Sehingga, semua proses berjalan paralel dengan pengajuan di DPR.

"Saya akan angkat dua jempol kalau DPR bisa menyelesaikan dalam 100 hari. Tidak hanya saya, tapi saya kira Bapak, Ibu, dan saudara-saudara semua juga acungkan jempol jika itu bisa diselesaikan dalam 100 hari," kata Jokowi saat menghadiri Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, Kamis (16/1).

Rekam Jejak Omnibus Law, Dari Akronim 'Cilaka' Hingga Salah Ketik

Mungkin 'terdesak' oleh permintaan Jokowi, DPR RI dengan terburu-buru menuntaskan penyusunan Omnibus Law. Permintaan Jokowi akhirnya terkabulkan setahun kemudian. Lewat proses pembahasan yang super kilat, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Saking terburu-burunya, dalam perjalanan pembahasan hingga kemudian disahkan, RUU Cipta Lapangan Kerja menimbulkan banyak masalah.

Masalah pertama muncul saat draf aturan awal sebanyak 1000 halaman dibuka ke publik usai presiden mengirimkan surat disertai naskah akademik dan draf UU pada 7 Februari 2020. Draf yang semula berjudul Cipta Lapangan Kerja diganti menjadi Cipta kerja demi menghindari akronim negatif 'Cilaka'.

Selain perubahan judul, publik juga menyoroti adanya klausul baru bahwa pemerintah pusat bisa mengubah undang-undang di luar wewenang peraturan pengganti perundang-undangan (perppu) dan tak wajib mengantongi persetujuan DPR RI. 

Klausul yang memberi kewenangan luas kepada pemerintah yang mengabaikan fungsi DPR ini langsung memicu kehebohan dan penolakan dari publik. Menanggapi kehebohan ini, pemerintah dan DPR satu suara beralasan 'salah ketik', hingga kemudian usulan aturan baru itu dihapus dari draf.

Bukan sekali ini pemerintah dan DPR menyusun Undang-undang secara kilat hingga mengakibatkan 'salah ketik'. Saat menyusun UU KPK, ada aturan usia minimal komisioner 50 tahun. Padahal salah satu pimpinan baru berusia 45 tahun. Dengan alasan 'salah ketik', aturan itu kemudian direvisi.

Proses Kilat dan Miskin Komunikasi, Sumber Penolakan Omnibus Law

Penolakan terhadap Omnibus Law sebenarnya terjadi karena kekecewaan publik terhadap proses penyusunannya dan miskinnya komunikasi pemerintah dalam menyosialisasikan RUU tersebut. Sejak awal draf itu dipublikasikan, sudah banyak elemen masyarakat yang menolak beberapa poin tertentu, terutama yang terkait dengan nasib buruh.

Selain itu, proses pembahasan dan pengesahan yang terkesan sangat kilat akhirnya memunculkan prasangka negatif, bahwa pemerintah dan DPR RI punya kepentingan tertentu atas terbitnya Omnibus Law.

Semula, Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020 - 2021 yang membahas Omnibus Law akan digelar Kamis 8 Oktober 2020, sesuai dengan jadwal. Namun, mendadak DPR menggelarnya lebih cepat, berlangsung Senin 5 Oktober 2020.

"Orang tidak akan sepakat pada satu hal kecuali mereka memiliki kepentingan yang sama. Nah, kepentingan yang sama itu menurut saya adalah kepentingan ekonomi politik di kalangan elite oligarki yang ingin agar kepentingan ekonomi politiknya bisa terwujud," jelas Wijayanto, Dosen Fisipol Universitas Diponegoro. 

Sementara pemerintah berdalih urgensi terbitnya Omnibus Law agar Indonesia bisa keluar dari status negara berpenghasilan menengah.

"Bapak Joko Widodo dalam pelantikan presiden terpilih periode 2019 - 2024 pada 20 Oktober 2019 lalu telah menyampaikan kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah," kata Airlangga

"Undang-undang tersebut adalah instrumen untuk penyederhanaan dan peningkatan aktivitas birokrasi. Dan Alhamdulillah sore ini (5/10) undang-undang itu diketok," kata dia. 

Presiden Jokowi yang Memulai, Presiden Jokowi Pula yang Harus Mengakhiri Polemiknya

Niat pemerintah mungkin baik, untuk menyederhanakan birokrasi demi terciptanya banyak lapangan kerja. Namun, cara mewujudkannya yang memicu pergolakan di hampir segenap penjuru tanah air, pasca Omnibus Law disahkan DPR.

Semestinya, pemerintah maupun DPR RI bisa menahan diri untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja, mengingat kondisi psikologi masyarakat yang tengah tertekan akibat pandemi Covid-19. Toh tanpa mengesahkannya, pemerintah bisa menerbitkan beberapa peraturan untuk mempersingkat birokrasi di bidang investasi, jika hal ini memang dirasakan sangat mendesak.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Buntut dari RUU Cipta Kerja disahkan, aksi demonstrasi berlangsung di mana-mana yang berakhir dengan beberapa kericuhan dan tindakan anarki. Di tengah gelombang unjuk rasa, Presiden Jokowi sendiri sedang melakukan kunjungan kerja menengok proyek food estate di Kalimantan Tengah.

Sebagai penggagas RUU, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi harus secepatnya mengeluarkan sikap atau pernyataan resmi agar mahasiswa, buruh dan pihak-pihak lain yang tidak puas dengan RUU Cipta Kerja bisa sejenak menenangkan diri. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu pun suara keluar dari Presiden Jokowi.

Alih-alih menenangkan, justru Menko Perekonomian dan Industri Airlangga Hartarto menuding ada aktor intelektual di balik demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja. Tuduhan yang tidak mendasar, yang jika tidak disertai bukti kuat malah bisa membuat iklim politik tanah air kian memanas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun