Sombong.
Mungkin itu kesan pertamamu saat melihat ada teman di komunitas yang menyendiri, tidak berkumpul dengan yang lain. Kamu bisa melihatnya sedang duduk atau berdiri bersandar di dinding sudut ruangan.
Di tengah keriuhan pembicaraan teman-temannya, dia tenggelam dalam lamunan. Sesekali dia menunduk, mencuri pandang pada perangkat digital yang ada dalam genggaman.
Setelah beberapa lama, dia mencoba untuk berbaur, melepaskan diri dari dunia tak kasat mata yang sudah mengungkungnya. Sayangnya, seringkali dia tidak mampu membangun chemistry dengan orang yang ditemuinya.
Alhasil, dia pun kembali ke tempat favoritnya di pojok ruangan, kembali tenggelam dalam kesendiriannya. Dia hadir secara fisik, namun jiwanya melayang entah ke mana.
Ketahuilah kawan, dia bukan alien. Dia juga bukan budak dari tiran alat komunikasi digital. Dia hanya introvert yang dengan susah payah mencoba berjuang untuk terlibat dalam pembicaraan, meskipun hanya ingin terlihat mendengarkan.
Susahnya Jadi Introvert di Tengah Komunitas
Memang susah jadi introvert, apalagi bila ikut komunitas yang isinya kebanyakan orang-orang ekstrovert yang suka bicara. Karena, sejak lama introversi sudah menjadi ciri kepribadian yang sering disalahpahami.
Menjauhkan diri dari orang lain. Berkubang dalam kesendirian yang menggembirakan. Ini semua sifat standar yang dimiliki introvert.
Ketika sifat-sifat itu muncul dalam diri introvert ketika dia "terjebak" di keramaian komunitas, maka yang terlihat adalah keanehan. Betul tidak?
Kalau begitu, mengapa introvert ikut komunitas?