Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jejak Suara Kritis Para Jenderal, Dari Petisi 50 Hingga KAMI

3 Oktober 2020   11:18 Diperbarui: 3 Oktober 2020   11:28 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petisi 50 menyoroti sikap Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mengancam musuh politiknya (sumber gambar: minews.id)

Jawaban Soeharto memang tidak jelas, tapi sikapnya terhadap tokoh yang ikut menandatangani Petisi 50 sangat jelas.

Nasib Para Tokoh Petisi 50

Dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH, Soeharto mengatakan,

"Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot."

"Mereka mengira seolah-olah pendapatnya bener dewe, benar sendiri. Merasa mengerti, tetapi pada dasarnya tidak mengerti Pancasila dan UUD 1945."

Sikap Soeharto yang menjadi jawaban atas Petisi 50 itu ditunjukkannya lewat pencekalan beberapa tokoh pencetusnya, seperti Nasution. Padahal lewat campur tangan Nasution lah Soeharto 'ketiban sampur' bisa berkuasa.

Tak hanya dicekal, beberapa tokoh lainnya juga dipersulit urusan bisnis mereka. Ali Sadikin misalnya, mengakui tak bisa mendapat kredit dari bank. Perusahannya, PT Arkalina sempoyongan dan terpaksa gulung tikar.

Proses Rekonsiliasi Nasional

Ketika Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik pada awal 1990-an, penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 ikut dilonggarkan. Proses rekonsiliasi dimulai ketika Menristek B.J. Habibie berinisiatif mengundang beberapa tokoh Petisi 50 yang tersisa, antara lain Nasution dan Ali Sadikin, untuk berkunjung ke PT PAL Surabaya. Soeharto sendiri merestui inisiatif Habibie.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie.

Pada Juli 1993, Presiden Soeharto mengundang Nasution, tokoh utama di balik Petisi 50 ke Istana Negara. Nasution sendiri juga mendorong pemerintah untuk melakukan proses rekonsiliasi sehingga bangsa bisa bersatu di bawah kepemimpinan Soeharto.

Lima tahun kemudian di acara HUT ABRI (5 Oktober 1997), Nasution diberi pangkat kehormatan Jenderal Besar, pangkat yang juga diberikan kepada Soedirman dan Soeharto sendiri.

Jejak suara kritis para jenderal dan tokoh nasional yang dimulai dari Brasildi, Petisi 50 hingga Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) hendaknya bisa memberi pelajaran pada kita. Bahwa kemampuan menerima kritik dan saran adalah modal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara. Dan dibutuhkan orang-orang yang mampu bersikap kritis terhadap pemerintahan layaknya Nasution, Ali Sadikin dan yang terbaru adalah Gatot Nurmantyo, terlepas apa motif di belakangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun