Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Campur Tangan Jenderal Nasution di Balik Jatuhnya Kekuasaan Soekarno (Bagian 1)

29 September 2020   21:39 Diperbarui: 30 September 2020   06:48 5669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menurutmu, benar enggak Soeharto yang mendalangi kudeta terhadap Soekarno?" tanya Karto tiba-tiba kepada Burhan. Di pagi hari mendung keduanya yang tengah menanti orderan ojek online sedang menikmati secangkir kopi hangat di warung kopinya Alim.

"Aduh, PKI lagi PKI lagi. Kamu gak bosan tah setiap bulan September yang dibahas PKI terus?" jawab Burhan.

"Lho, aku gak bahas PKI. Aku cuma nanya peristiwa kudeta terhadap Soekarno."

"Ya kan sama saja, itu sudah satu paket. Kudeta terhadap Soekarno itu terjadi karena ada pemberontakan PKI," kata Burhan.

"Ya wis, gak usah ngotot begitu. Tinggal jawab pertanyaanku saja pakai otot-ototan segala," kata Karto sebal.

"Memang ada apa To, kok tumben kamu bahas kudeta terhadap Soekarno?" Alim, pemilik warung kopi menyela pembicaraan dua orang langganannya itu.

"Nggak apa-apa. Aku kan habis baca buku yang dikasih temanku. Di buku itu diceritakan Presiden Soekarno jatuh karena dikudeta oleh Soeharto. Dia bekerja sama dengan CIA Amerika melakukan Kudeta Merangkak untuk menggulingkan Soekarno. Terus kata temanku tadi, Amerika kan punya kepentingan untuk menumbangkan kekuasaan Soekarno, lalu mereka menjadikan PKI sebagai kambing hitamnya. Makanya, kita harus meminta maaf kepada anak cucu PKI."

"Bukunya judulnya apa sih?" tanya Alim.

"Lupa aku Lim, yang kuingat ada gambar palu aritnya," jawab Burhan.

"Pantas. Hati-hati To, kamu sudah termakan propaganda temanmu lho," kata Alim.

"Maksudmu?"

"Ya itu tadi. Temanmu memberi buku yang isinya memutarbalikkan fakta. Seolah-olah PKI itu korban, dan bukan pelaku pemberontakan," jawab Alim.

"Omonganmu kayak pelaku sejarah aja Lim," sahut Burhan yang dari tadi diam.

"Lho, aku ngomong begini karena Mbahku sendiri jadi korban keganasan PKI, Han. Omonganku juga bukan karena alasan itu saja. Buku milik temannya Karto, juga beberapa tulisan lain yang mengatakan PKI adalah korban atau kambing hitam dari peristiwa Gestapu sudah memutarbalikkan fakta dengan mencoba mengerdilkan kekuatan PKI yang sesungguhnya, seolah PKI itu partai lemah yang perlu dikasihani," jelas Alim.

"Maksudmu mengerdilkan itu bagaimana?" tanya Burhan.

"Coba pikir, pada tahun '60an, PKI adalah partai yang berkuasa dan ada dalam lingkaran kekuasaan pemerintah Soekarno. Di masa itu, posisi PKI di atas angin sehingga mereka bisa dan berani membantai lawan-lawannya dengan cara keji, seperti aksi pembantaian aktivis pemuda Islam dan ratusan jamaah salat Shubuh dalam Peristiwa Kanigoro, Kediri pada Januari 1965, tepat ketika bulan puasa," kata Alim dengan suara merinding.

"Bahkan, melalui manuver politiknya, PKI sanggup membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang tidak sejalan dengan ide komunis mereka melalui tangan Pemerintah Soekarno. Dengan begitu, PKI dan PNI-nya Soekarno saat itu menjadi partai nyaris tanpa pesaing. Dari situlah lahir kediktatoran Soekarno hingga Soekarno yang didukung PNI dan PKI mentahbiskan diri menjadi Presiden Seumur Hidup, memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Jadi, salah besar kalau ada menganggap PKI itu partai yang kekuasaannya lemah," kata Alim melanjutkan penjelasannya.

"Tapi itu kan belum bisa menunjukkan benang merah keterlibatan PKI dalam peristiwa tanggal 30 September kan?" tanya Burhan.

"Sabar, aku baru mulai pembukaannya," jawab Alim dengan tenang.

"Propaganda yang mengatakan PKI itu korban juga dibentuk dengan membesarkan peran dan kekuasaan Soeharto, seolah dia memiliki kendali yang luar biasa di tubuh Angkatan Darat. Padahal, saat itu Mayjend Soeharto sebagai Pangkostrad tidak punya kekuatan dibandingkan jenderal yang lain. Dia tidak termasuk jenderal yang dijadikan target penculikan PKI. Inilah yang kemudian diputarbalikkan. Tidak menjadi target bukan berarti dia ikut dalam penculikan, bukan?

Lagipula, pengaruh Soeharto di tubuh militer tidak besar dan strategis. Dia panglima komando, bukan masuk ke jajaran petinggi militer yang bisa mengambil keputusan-keputusan penting. Jabatannya sebagai Panglima Kostrad, masih kalah dibandingkan dengan Menteri Panglima Angkatan Darat (yang dijabat oleh Letjend Ahmad Yani) maupun Menko Hankam/Kepala Angkatan Bersenjata (Jenderal AH. Nasution)," lanjut Alim menjelaskan kepada dua temannya itu.

"Kalau Soeharto tidak punya kekuasaan dan kewenangan besar di tubuh militer, mengapa setelah peristiwa itu dia bisa berkuasa?" kali ini Karto yang bertanya.

"Sederhana saja. Soeharto 'ketiban sampur'", jawab Alim.

"Lha ini teori baru. Coba, Lim, kamu jelaskan mengapa Soeharto kamu sebut 'ketiban sampur'" pinta Burhan.

"Karena, sosok yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya kekuasaan Soekarno itu Jenderal A.H. Nasution," kata Alim tenang.

"Hush, jangan ngawur, Lim. Bisa-bisa kamu dituduh fitnah dan provokasi lho," kata Karto mengingatkan Alim.

"Aku nggak ngawur To. Aku berani ngomong begini karena fakta sejarah di masa itu justru mengkonfirmasi, Jenderal Abdul Haris Nasution adalah orang yang paling berperan penting dalam keruntuhan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Seumur Hidup."

"Bagaimana jalan ceritanya kamu bisa sampai pada kesimpulan itu? Bukannya tadi kamu ngomong kalau PKI," tanya Burhan.

"Kalian sudah tahu kan, kalau Jenderal A.H. Nasution saat itu menjabat Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Dialah orang nomor satu di jajaran militer, yang atasan langsungnya adalah Presiden. Dalam posisi itu, Jenderal Nasution memiliki akses dan wewenang ke seluruh angkatan, baik darat, laut maupun udara."

Ketika itu, di tubuh militer ada dua faksi/kelompok, yakni yang pro PKI/Nasakom dan yang anti PKI/Nasakom. Nasution, bersama A. Yani dan deputi-deputinya seperti D.I Pandjaitan hingga S. Parman termasuk ke dalam kubu anti PKI/Nasakom.

PKI menganggap jenderal-jenderal yang anti Nasakom ini menghalangi cita-cita besar mereka yang ingin menjadikan Indonesia negara komunis, bergandengan tangan dengan Uni Soviet dan RRT. Karena jenderal-jenderal ini punya kedudukan tinggi dan wewenang jabatan yang strategis di tubuh militer, tentu tak mudah menyingkirkan mereka lewat lobi-lobi politik. PKI ingin mengambil jalan pintas dengan merencanakan penculikan terhadap 8 jenderal yang dianggap paling anti dan tidak mungkin dapat dipengaruhi pendirian maupun ideologi mereka.

Sebelum operasi ini dilancarkan, PKI terlebih dahulu membuat isu kudeta dari Dewan Jenderal yang diinisiasi Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Ahmad Sukendro, S. Parman, M.T Haryono, Sutojo, dan D.I Pandjaitan. Dengan isu ini, PKI berharap akan mendapat dukungan dan legitimasi dari Soekarno saat mereka melakukan operasi penculikan.

Gerakan 30 September adalah gerakan kolaborasi antara militer pro PKI dan Nasakom yaitu Letkol Untung (Tjakrabirawa), Kolonel Latief (Divisi Diponegoro), Supardjo (Divisi Siliwangi), dan Mayor Udara Sujono; dengan PKI (Sjam Kamaruzaman, Pono dan D.N Aidit) berada di balik layar. Dalam perjalanannya, aksi G30S/PKI itu menewaskan enam jenderal, karena Ahmad Sukendro sedang berada di luar negeri sedangkan A.H. Nasution berhasil lolos meski harus mengorbankan putrinya Ade Irma Suryani," selesai menjelaskan panjang lebar, Alim menarik nafas panjang.

"Dan lolosnya Nasution, itu menjadi titik balik perlawanan terhadap PKI?" tanya Karto.

"Betul, di sanalah skenario Tuhan berkehendak. PKI punya rencana, Tuhan juga punya rencana. Akhirnya rencana Tuhan yang terbaik dan itu yang terjadi," jawab Alim tajam. "Satu kegagalan menghabisi seorang Nasution, menjadi pukulan balik yang menghancurkan PKI, sekaligus awal kejatuhan pemerintahan Soekarno."

***

Bersambung ke bagian 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun