"Benar ini rumahnya?" tanya pengendara motor pertama. Suaranya pelan hampir berbisik. Matanya mengamati rumah berpagar hitam di sudut gang perumahan. Giginya gemeletuk menahan hawa dingin dari kabut dini hari yang menusuk tulang.
"Benar Mas. Kata orang-orang rumahnya di pojok gang dua. Ya ini satu-satunya rumah pojok di gang," jawab perempuan yang dibonceng. Usianya masih muda, mungkin ada 20 tahunan. Tangannya yang memangku sebuah keranjang tampak gemetar.
Rumah berpagar hitam yang dimaksud terlihat sepi. Hanya lampu teras yang menyala, menerangi kebun depan yang penuh dengan pot-pot bunga. Di kanan kirinya, sebuah rumah tak berpenghuni yang gelap dan tanah kosong dengan ilalang tumbuh tinggi membuat rumah pojok itu seperti dikucilkan tetangganya.
"Tapi kok gak ada tanda-tanda....?" mendadak pertanyaannya terhenti oleh gerakan di balik pot-pot bunga di belakang pagar rumah di depannya.
Kedua orang itu menajamkan mata, seolah sedang mengerahkan kekuatan agar pandangannya bisa menembus kabut yang mulai menebal.
"Mas lihat sesuatu?" tanya si perempuan.
"Enggak. Sudahlah, cepat turunkan keranjangnya dan taruh di depan pintu pagar. Nanti keburu warga sini keluar. Sudah hampir masuk waktu subuh ini," perintah temannya yang membonceng.
Tanpa berbicara lagi, orang kedua turun dari motor dengan menenteng keranjang. Sesampainya di pintu pagar rumah pojok itu, perempuan berjaket lengkap dengan tudungnya itu lalu menurunkan keranjang dengan perlahan. Dielusnya sosok makhluk mungil yang sedang meringkuk dikelilingi sepotong kain tebal.
"Ish, ish, ish," bisiknya menenangkan saat si mungil dilihatnya menggeliat, mungkin hendak bangun akibat goncangan keranjang.
"Kamu di sini saja ya. Kami sudah tidak sanggup lagi memeliharamu."