Dijadikannya PSPB sebagai mata pelajaran wajib bagi anak-anak sekolah tingkat SD sampai SMA tak bisa dilepaskan dari peran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Nugroho Notosusanto. Dikutip dari Historia, ketika itu Presiden Soeharto merasa tidak puas terhadap pengajaran sejarah dalam Kurikulum 1975.Â
"Ruang lingkup dan materi pengajaran sejarah Indonesia dalam Kurikulum 1975 dikritik oleh Presiden Soeharto karena tidak dapat menanamkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.Â
Ia menggagas perlunya menjadikan pendidikan sejarah di sekolah sebagai alat untuk mewariskan semangat dan nilai-nilai perjuangan bangsa yang tumbuh dan berkembang selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949," tulis Abdul Syukur dalam disertasinya, "Pengajaran Sejarah Indonesia Kurikulum 1964-2004: Sebuah Stabilitas yang Dinamis".
Merespon keinginan Presiden Soeharto, Mendikbud Nugroho Notosusanto kemudian merekomendasikan kepada MPR RI untuk memasukkan PSPB dalam GBHN agar memiliki legalitas yang kuat untuk dijadikan mata pelajaran wajib. Namun sayang, dalam perjalanan pengajarannya PSPB menuai kontroversi.
Kontroversi PSPB dan Skandal Ilmiah yang Menjeratnya
Materi sejarah yang disajikan dalam buku teks PSPB bersumber bersumber dari buku Sejarah Nasional Indonesia IV, V, dan VI dan buku 30 tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI (1983). Dibalik referensi utama tersebut nama Nugroho Notosusanto menjadi salah satu tim penyusunnya.
Baca juga : JAS MERAH Antara MPR, GBHN dan Amandemen UUD 1945
Salah satu bagian yang cukup kontroversial yang dianggap sebagai "skandal ilmiah terbesar" dan memantik protes luas dari sejarawan Indonesia terdapat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP Jilid III, cikal bakal buku teks PSPB tingkat SMP. Di alinea kedua halaman 154 buku itu, tertulis "Dalam pada itu Presiden Soekarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dolar atas nama Presiden."
Tak pelak, narasi yang menyudutkan Presiden Soekarno itu mendapat kritik keras dari masyarakat, terutama para sejarawan, akademisi dan tentu keluarga Soekarno sendiri.Â
Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag) Surabaya dalam acara Seminar Sejarah pada 9 September 1985 bahkan menuntut penulis buku untuk  membuktikan tuduhan miring tersebut bila tidak ingin dicap sebagai pemfitnah. Kontroversi ini kemudian meluas lantaran diberitakan surat kabar Sinar Harapan dengan judul yang sangat sensasional, "PSPB Produk Nugroho Almarhum Jatuhkan Nama Soekarno-Hatta".
Mendikbud Fuad Hasan yang baru dilantik menggantikan Mendikbud ad interim JB. Sumarlin usai Nugroho Notosusanto meninggal dunia langsung merespon protes masyarakat dan berusaha meredam polemik. Usai menemui Presiden Soeharto, Fuad Hasan mengatakan presiden setuju untuk mengadakan penelitian ulang terhadap materi pengajaran sejarah di buku teks PSPB.Â
Tak hanya itu, Fuad Hasan juga mengadakan pertemuan dengan para ahli sejarah yang kemudian membentuk kelompok kerja guna menggarap ulang buku-buku sejarah di tingkat SD sampai perguruan tinggi.