Masih saja para Menteri Jokowi mengkritik cara Anies menangani pandemi Covid-19 di wilayah kerjanya. Terbaru, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meminta Anies untuk tidak overdosis dalam menangani Covid-19 di Jakarta.
Kritik Pada Anies, Dari Larinya Dana 300 T Hingga Overdosis Penanganan
Menurut Airlangga, pernyataan Anies yang kembali melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total, sebagaimana pada Maret 2020, dinilai "overdosis" dalam menghadapi kenaikan tingkat positif pasien COVID-19.
"Sehingga kita tidak mengambil langkah-langkah yang katakanlah overdosis, dampaknya Jakarta bukan sebuah kota, Jakarta bukan hanya mencerminkan 20 persen, tapi pusat saraf perekonomian nasional. Sehingga apa yang diambil merefleksikan kebijakan nasional," kata Airlangga secara virtual, Minggu 13 September 2020.
Kritik Airlangga ini didasarkan data tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Jakarta yang melampaui tingkat kesembuhan nasional, yakni 75,2 persen. Sementara fatality rate atau tingkat kematian juga jauh lebih kecil dari tingkat kematian secara nasional.
Sebelumnya, Airlangga Hartarto juga melontarkan pernyataan keras bahwa akibat keputusan Anies yang akan menerapkan kembali PSBB dengan lebih ketat, IHSG terkoreksi tajam hingga mengakibatkan 300 triliun rupiah dana asing yang ada di pasar finansial kembali ke luar pasar.
Dari Awal, Cuma Anies yang Serius Menangani Pandemi Covid-19
Sepertinya, apa pun kebijakan yang diambil Anies Baswedan harus dikritik keras. Memang, kritik itu sangat diperlukan agar kebijakan yang diambil bisa tepat sasaran dan optimal.
Tapi, tidak pada tempatnya pejabat sekelas Airlangga Hartarto mengatakan Anies overdosis. Apa yang dilakukan Anies tak lebih dari kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yakni semakin bertambahnya pasien Covid-19 hingga menyebabkan overload kapasitas rumah sakit dan tenaga kesehatan.
Kalau mau jujur, harus diakui cuma Anies Baswedan, kepala daerah yang serius menangani pandemi Covid-19. Saya tak hendak berlebihan dalam memuji Anies, tapi saya rasa ini penilaian yang cukup adil mengingat pemerintah pusat sendiri sangat bebal dalam menangani pandemi Covid-19.
Bebalnya pemerintah sudah terlihat tatkala Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyurati Presiden Joko Widodo pada 10 Maret 2020 lalu. Dalam suratnya, Tedros mewakili WHO meminta Jokowi untuk segera mengumumkan darurat nasional Corona.
Sayangnya, surat WHO seperti dianggap angin lalu. Presiden Jokowi tak juga mengumumkan status darurat nasional Corona. Malah banyak pejabat yang memberi pernyataan meremehkan.
Dengan "sombongnya" Menteri Kesehatan mengatakan bahwa menghadapi difteri saja Indonesia tidak takut, apalagi menghadapi corona. Menteri Kesehatan juga mengatakan masyarakat tak perlu panik karena corona tak lebih mematikan dibandingkan influenza.
Langkah Sigap Anies dan Bebalnya Pemerintah Pusat
Santainya pemerintah pusat dalam menanggapi pandemi Covid-19 bisa kita bandingkan dengan keseriusan Anies Baswedan. Silahkan cari jejak digitalnya, maka kita bisa melihat sendiri bagaimana pemerintah kita lamban, tidak serius dan terlalu santai dalam menangani penyebaran virus corona yang saat ini sudah dinyatakan sebagai pandemi dunia.
Sebelum pemerintah pusat mengumumkan Indonesia positif corona, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah mendahului dengan menyebutkan ada beberapa warganya yang sedang dalam pengawasan karena diduga terinfeksi virus corona.
Sayang, kejujuran Anies saat itu harus menghadapi tembok tebal "kesombongan" pemerintah pusat. Menteri Kesehatan dengan tegas membantah pernyataan Anies, sementara buzzer-buzzer pro pemerintah mem-bully Anies dan menuduhnya menyebarkan hoaks.
Langkah taktis Anies berlanjut di saat pemerintah pusat masih menimbang status darurat nasional dan opsi isolasi daerah pusat penyebaran wabah. Dengan sigap, Anies Baswedan langsung meliburkan sekolah dan meminta warganya untuk membatasi diri keluar  rumah.
Ketika Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta mengambil langkah pencegahan, menteri-menteri Jokowi justru mengolok-oloknya. Menkopolhukam Mahfud MD bahkan mencibir Pemprov DKI Jakarta takut rugi ketika Anies membatalkan event Formula E yang sedianya akan digelar di Jakarta pada tahun ini.
Duh, padahal itu adalah langkah standar yang dilakukan banyak pemerintah negara lain untuk mencegah penyebaran virus corona. Membatasi pertemuan atau kegiatan yang diikuti banyak warga adalah penanganan yang tepat agar virus corona tidak semakin menyebar.
Bersatu Lawan Corona atau Bersatu Jegal Anies?
Ada kesan, apa pun yang dilakukan Anies harus terlihat salah. Apa pun kebijakan yang diambil pemerintah pusat, harus berbeda dengan Anies Baswedan. Tak salah bila kemudian jargon "Bersatu lawan Corona" diplesetkan menjadi "Bersatu Jegal Anies".
Sebagai kepala daerah di mana ibukota negara berada, setiap kebijakan yang diambil Anies Baswedan memang harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Namun, bukan berarti pejabat-pejabat lain yang tidak memiliki wewenang khusus, apalagi kepala daerah luar Jakarta ikut merecoki. Justru, karena terlalu banyak tangan yang ikut campur dan mulut yang ikut berkomentar, kebijakan Anies menjadi tidak optimal.
Dalam menangani pandemi Covid-19, yang kita butuhkan adalah sinergi antar kepala daerah, pejabat hingga masyarakat itu sendiri. Kita bisa mengambil contoh dari beberapa negara yang sudah melewati fase puncak pandemi dan sekarang tengah membangun kembali perekonomian mereka. Adakah pejabat pemerintah di negara-negara tersebut saling bekerja sendiri? Adakah kegaduhan demi kegaduhan yang tercipta akibat ketidakharmonisan hubungan antar pejabatnya?
Saya rasa cuma di Indonesia saja, pejabatnya bebal masyarakatnya juga ikut bebal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H