Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kalau Ingin Melegalkan Ganja sebagai Tanaman Obat, Jangan Setengah-setengah

29 Agustus 2020   22:40 Diperbarui: 29 Agustus 2020   22:39 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdasarkan celah pada konvensi tersebut, penetapan ganja sebagai binaan tanaman obat bisa dimaklumi (unsplash.com/Kimzy Nanney)

Efek ganja pada kemampuan ini dapat bertahan lama atau bahkan permanen. Dampaknya tergantung pada banyak faktor dan berbeda untuk setiap orang.

Senyawa tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD) memang memiliki efek pada otak manusia. Meski terbukti bisa menyebabkan orang merasa "fly" dan merusak fungsi dan respon otak, kedua jenis senyawa cannabinoid ini juga memiliki manfaat sebagai ganja medis (medical cannabis) untuk pengobatan.

Beberapa penelitian mengungkapkan penggunaan THC dalam dosis kecil (mungkin) dapat mengurangi kecemasan, mengurangi peradangan dan menghilangkan rasa sakit, mengontrol mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi kanker, dan merangsang nafsu makan pada penderita kanker dan AIDS.

Sedangkan CBD dianggap dapat membantu anak-anak yang memiliki banyak kejang (berkedut dan menyentak tak terkendali) yang tidak dapat dikontrol dengan obat lain. Efeknya adalah dengan merelaksasi otot-otot yang tegang ketika tubuh penderita mulai kejang.

Upaya Menoleransi Ganja Sebagai Tanaman Obat-obatan

Meskipun memasukkan ganja sebagai narkotika dan obat-obatan berbahaya, Konvensi Tunggal PBB 1961 menoleransi budidaya tanaman ganja dengan pembatasan tertentu yang sama dengan pembatasan pada budidaya tanaman opium. Pasal 23 dan Pasal 28 dalam konvensi tersebut mengharuskan setiap pihak (negara yang menyetujui konvensi) untuk membentuk lembaga pemerintah guna mengendalikan budidaya ganja.

Para pembudidaya harus menyerahkan hasil panen total mereka kepada lembaga tersebut, yang harus membeli dan mengambil kepemilikan fisik mereka dalam waktu empat bulan setelah akhir panen. Lembaga ini kemudian memiliki hak eksklusif untuk "mengimpor, mengekspor, perdagangan grosir dan mempertahankan stok selain yang dimiliki oleh produsen."

Pasal 28 juga secara khusus mengecualikan varietas tanaman ganja untuk industri rami dari peraturan ini, dengan menyatakan, "Konvensi ini tidak berlaku untuk penanaman tanaman ganja secara eksklusif untuk keperluan industri (serat dan biji) atau tujuan hortikultura."

Berdasarkan celah pada konvensi tersebut, keinginan Kementerian Pertanian untuk "melegalkan" ganja sebagai komoditas binaan tanaman obat bisa dimaklumi, sebagaimana keinginan Rafly Kande agar Indonesia dapat mengekspor ganja untuk keperluan medis. Tapi dengan catatan khusus.

Misalnya, untuk pengawasan dan pengelolaan (distribusi dan penyediaan pasokan) bisa diserahkan pada Badan Narkotika Nasional (BNN). Lembaga ini kemudian menunjuk pihak ketiga (bisa melalui Kementerian Pertanian) untuk menyediakan lahan budidaya ganja.

Selanjutnya, produk ganja dari budidaya yang dikontrol BNN inilah yang menjadi ganja legal dan bisa diekspor atau diperdagangkan secara khusus, terutama untuk keperluan medis dan penelitian.

Jadi, kalau ingin menetapkan ganja sebagai bagian dari tanaman obat hingga kemudian bisa dianggap legal, Kementerian Pertanian jangan bertindak setengah-setengah. Tidak bisa hanya dengan mengeluarkan keputusan menteri, lalu dilempatkan begitu saja sebatas wacana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun