Ketika anggota DPR Komisi VI Rafly Kande dari Fraksi PKS asal Aceh mengusulkan agar ganja jadi komoditas ekspor Indonesia, banyak yang mengatakan ngawur dan mengolok Rafly Kande hanya ingin cari panggung. Tapi saat Kementerian Pertanian menetapkan ganja sebagai komoditas binaan tanaman obat, nyaris tidak terdengar protes dari netizen yang budiman. Dasar standar ganda.
Penetapan ganja sebagai tanaman obat tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sejak 3 Februari 2020, namun baru diunggah di laman resmi Kementan per Sabtu (29/8).
Berdasarkan Kepmen tersebut, ganja digolongkan dalam jenis tanaman obat dalam binaan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. Bersama ganja, ada pula kecubung dan beberapa jenis tanaman obat lainnya seperti brotowali, lempuyang dan sambiloto.
Namun, belum sehari Kepmen itu diunggah, Menteri Pertanian langsung mencabutnya.
"Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait," ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha dalam siaran pers, Sabtu (29/8).
Polemik Legalisasi Ganja, Antara Manfaat Sebagai Obat dan Efek Negatifnya
Sejak lama, legalisasi ganja sudah menjadi polemik tak hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan ganja, dengan pembatasan tertentu seperti untuk keperluan medis dan penelitian.
Hingga saat ini, legalisasi ganja masih terbentur oleh Konvensi Tunggal PBB 1961 tentang Narkotika dan Obat-obatan terlarang. Ganja dimasukkan kelompok tanaman yang dilarang untuk dibudidayakan karena bahan kimia utama dalam ganja digolongkan dalam daftar obat "Jadwal 1". Sama dengan heroin/opium, LSD, dan ekstasi, yang kemungkinan besar akan disalahgunakan dan kurang dalam nilai medis.
Bahan kimia yang dimaksud adalah tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD), keduanya senyawa kimia yang terlibat dalam proses pelepasan neurotransmitter di otak.
Karena itu, efek utama dari penggunaan ganja tentu saja terdapat dalam otak manusia. Khususnya bagian otak yang bertanggung jawab atas ingatan, pembelajaran, perhatian, pengambilan keputusan, koordinasi, emosi, dan waktu reaksi.
Jika seseorang menggunakan ganja dalam jangka waktu yang lama dan berlebihan, ini dapat mempengaruhi perkembangan otak. Ketika ganja digunakan mulai usia remaja, bahan kimia psikoaktifnya, yakni tetrahydrocannabinol (THC) dapat mengurangi perhatian, memori, dan fungsi belajar serta mempengaruhi bagaimana otak membangun koneksi antara area yang diperlukan untuk fungsi-fungsi ini.