Banyak netizen yang menganggap segala omongan Bu Tejo tentang Dian benar adanya karena adegan terakhir tersebut. Menanggapi kontroversi akhir cerita filmnya, sutradara Wahyu Agung Prasetyo hanya tertawa dan menyerahkan sepenuhnya penafsiran akhir film itu pada penonton.
"Secara film hal itu memang selesai, tapi secara masalah, apakah itu selesai, nggak. Dan Bu Tejo apakah benar omongannya, kan nggak, dia tetap villain sih menurutku," ujar Wahyu seraya tertawa.
Meski begitu, Wahyu tak kecewa atas kritik yang ia dan penulis Bagus Sumartono terima dari akhir kisah film Tilik. Menurutnya masing-masing orang memiliki hak menilai kisah film ini dari berbagai sudut pandang.
Budaya Tilik dan Fenomena Menggosip Dalam Kehidupan Masyarakat Kita
Secara umum, kekuatan film Tilik terletak pada tema yang mengangkat budaya dan fenomena kehidupan sehari-hari, serta dialog antar tokoh cerita yang mengalir lancar apa adanya. Wahyu Agung Prasetyo mengakui tertarik menggarap naskah cerita yang ditulis Bagus Sumartono ini karena latar belakang film tersebut berdasarkan fenomena yang ada di masyarakat Indonesia.
Tilik, atau menjenguk orang sakit memang sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di desa-desa di pulau Jawa. Apalagi bila yang sakit itu tokoh masyarakat yang terpandang, atau pejabat maupun perangkat desa.
Budaya Tilik ini juga tak lepas dari tuntunan agama Islam yang dianut mayoritas penduduk Jawa. Dalam syariat Islam, menjenguk orang yang sakit sangat dianjurkan dan diganjar dengan pahala yang besar.
Namun, bukan budaya Tilik itu yang diangkat Wahyu dan menjadi titik perhatian film berdurasi 30 menit ini. Melainkan apa yang dilakukan ibu-ibu selama perjalanan, yakni menggunjingkan orang lain. Bahkan tak jarang yang hendak dijenguk itu yang malah jadi korban gunjingan mereka.
Apa yang dilakukan Bu Tejo dan ibu-ibu pendukungnya merupakan realita kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari ada saja yang menjadi bahan pergunjingan kita, terutama kaum wanita. Dan, selalu ada sosok seperti Bu Tejo di antara kita, yang menginisiasi aktivitas pergunjingan.
Apalagi di era digital ini, di mana setiap kejadian atau peristiwa sekecil apapun tak luput dari komentar pengguna media sosial. Seolah kegemaran kita untuk menggosipkan orang lain merupakan buah dari kemudahan mengomentari apapun di media sosial.
Sepertinya benar apa yang dikatakan Bu Tejo, "Rajin-rajin baca dari internet dong." Karena dari internet kita bisa mendapatkan berbagai macam rupa informasi. Mulai dari berita umum sampai masalah pribadi.
Perkara informasi itu benar atau tidak, valid atau hoaks, itu lain cerita. Yang penting kita harus tahu dulu, dan berlomba-lomba menjadi yang pertama memviralkannya.