Seringkali kita menganggap remeh transaksi jual beli. Tidak menjadi masalah jika transaksi jual beli itu dilakukan secara kontan alias langsung dibayar. Namun, akan jadi masalah di kemudian hari bila transaksi itu dilakukan dengan cara berutang.
Kasus Jual Beli Secara Berutang
Seperti yang menimpa ibu mertuaku. Suatu hari, istriku membawa cerita percakapannya dengan tetangga di gang sebelah.
"Mas, ternyata Ibu masih ada cicilan jam tangan ke Bu Dewi. Katanya, belum melunasi utang saat membeli jam tangannya dulu. Ibu baru bayar separuh dari harga jam tangan."
"Lho, bukannya sudah lunas? Aku sendiri yang mengantar Ibu waktu menyerahkan uang cicilan jam tangannya," kataku mengingatkan.
"Iya, Bu Dewi ingat. Tapi masih kurang. Harga jamnya kata Bu Dewi  1,4 juta. Nah yang baru dibayar Ibu itu 400 ribu. Jadi dulu Ibu itu nyicil 200 ribu dua kali."
"Lha Ibu sendiri dulu bilangnya beli jam di Bu Dewi cuma 400 ribu, bukan 1,4 juta."
"Nah itu gak tahu. Bu Dewi juga gak mencatat. Katanya percaya sama Ibu soalnya kan tetangga sendiri."
"Terus bagaimana?"
"Bu Dewi bilang sudah mengikhlaskan, tapi kan gak enak Mas. Biarlah kita lunasi saja mumpung ada rezeki."
Ibu mertuaku memang begitu, suka membeli barang tapi nggak pernah bilang-bilang ke anaknya yang di rumah. Aku ingat, dulu Ibu pernah ngomong habis beli jam tangan dari Bu Dewi seharga 400 ribu, dan bayarnya dicicil dua kali. Saat aku mengantarkan ke rumah Bu Dewi, ibu mertuaku mengatakan itu pembayaran yang terakhir alias sudah lunas.