Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3 Etika Utang Piutang Agar Tidak Bermasalah di Kemudian Hari

8 Agustus 2020   21:15 Diperbarui: 8 Agustus 2020   21:12 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perhatikan etika utang piutang agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari (ilustrasi: unsplash.com/Allef Vinicius)

Seringkali kita menganggap remeh transaksi jual beli. Tidak menjadi masalah jika transaksi jual beli itu dilakukan secara kontan alias langsung dibayar. Namun, akan jadi masalah di kemudian hari bila transaksi itu dilakukan dengan cara berutang.

Kasus Jual Beli Secara Berutang

Seperti yang menimpa ibu mertuaku. Suatu hari, istriku membawa cerita percakapannya dengan tetangga di gang sebelah.

"Mas, ternyata Ibu masih ada cicilan jam tangan ke Bu Dewi. Katanya, belum melunasi utang saat membeli jam tangannya dulu. Ibu baru bayar separuh dari harga jam tangan."

"Lho, bukannya sudah lunas? Aku sendiri yang mengantar Ibu waktu menyerahkan uang cicilan jam tangannya," kataku mengingatkan.

"Iya, Bu Dewi ingat. Tapi masih kurang. Harga jamnya kata Bu Dewi  1,4 juta. Nah yang baru dibayar Ibu itu 400 ribu. Jadi dulu Ibu itu nyicil 200 ribu dua kali."

"Lha Ibu sendiri dulu bilangnya beli jam di Bu Dewi cuma 400 ribu, bukan 1,4 juta."

"Nah itu gak tahu. Bu Dewi juga gak mencatat. Katanya percaya sama Ibu soalnya kan tetangga sendiri."

"Terus bagaimana?"

"Bu Dewi bilang sudah mengikhlaskan, tapi kan gak enak Mas. Biarlah kita lunasi saja mumpung ada rezeki."

Ibu mertuaku memang begitu, suka membeli barang tapi nggak pernah bilang-bilang ke anaknya yang di rumah. Aku ingat, dulu Ibu pernah ngomong habis beli jam tangan dari Bu Dewi seharga 400 ribu, dan bayarnya dicicil dua kali. Saat aku mengantarkan ke rumah Bu Dewi, ibu mertuaku mengatakan itu pembayaran yang terakhir alias sudah lunas.

Ketika Bu Dewi memberitahu ibu mertuaku masih punya tunggakan cicilan karena harga jam tangannya ternyata 1,4 juta, baik istriku maupun aku sendiri tidak mengatakannya pada ibu. Kami rasa percuma karena sudah hampir satu bulan ini ibu mertuaku terkena dimensia, mendadak pikun. Ibu mertuaku mungkin sudah tidak ingat lagi pernah membeli jam tangan dari Bu Dewi. Kalaupun ingat, ibu mungkin juga sudah lupa berapa harga yang disepakatinya.

Etika Utang Piutang Dalam Islam

Kasus pada ibu mertuaku ini mungkin juga pernah terjadi pada kita semua. Dan, ini tidak akan jadi masalah seandainya sejak awal kita memperhatikan dan mematuhi etika utang piutang.

Dalam Islam, utang piutang diperbolehkan. Bahkan, Allah sendiri mengatur hukum dan etika utang piutang ini melalui firmanNya dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 282. Ayat ini merupakan ayat terpanjang di dalam Al Quran dan secara rinci dan jelas mengurai apa-apa yang musti dilakukan dalam muamallah, baik itu jual beli, utang piutang maupun sewa menyewa.

Apa saja hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam muamalah menurut syariat Islam ini?

1. Perjanjian utang piutang harus tertulis

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar...."

Setiap proses jual beli yang dilakukan tidak secara tunai, yang menyebabkan terjadinya utang piutang, hendaknya salah satu pihak ada yang mencatatnya, sekecil apapun nilainya. Jangan karena berdasarkan kepercayaan semata, atau mentang-mentang sudah kenal baik lantas kita mengabaikan dan tidak menuliskan perjanjian utang piutangnya.

2. Yang berutang mendiktekan utangnya

Selanjutnya kita lihat lagi penggalan kalimat di dalam surah Al Baqarah ayat 282 ini:

"....dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (mendiktekan apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya."

Artinya, si pengutang harus mendiktekan isi dari surat yang akan ditulis tersebut.

3. Adanya saksi dari kedua-belah pihak

Masih di ayat 282 surah Al Baqarah Allah berfirman:

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya."

Saat menulis perjanjian utang piutang, hendaknya ada saksi, minimal 2 orang lelaki. Hal ini ditegaskan oleh Allah agar kelak di kemudian hari ..."tidak (menimbulkan) keraguan." Dengan kata lain, adanya saksi ini untuk menguatkan perjanjian tersebut supaya transaksi utang piutang ini tidak akan menimbulkan masalah di lain waktu.

Seperti yang aku contohkan dalam kasus jual beli antara ibu mertua dan tetangganya. Karena tidak ada saksi, maka kedua belah pihak pun menjadi ragu mana keterangan yang benar. 

Aku dan istriku tentu lebih condong pada keterangan ibu bahwa harga jam tangannya 400 ribu dan sudah lunas. Sementara Bu Dewi sebagai penjual jelas akan mempertahankan keterangannya bahwa jam tangan yang ia jual itu seharga 1,4 juta, dan belum dilunasi ibu mertuaku.

Sementara Al Quran sebagai pedoman hidup umat Islam mengatur secara jelas dan sangat terperinci bagaimana semestinya etika dalam bermuamalah itu, kita sendiri sering mengabaikannya. 

Dengan alasan nilai utangnya kecil, yang berutang teman dekat atau sahabat karib, kita enggan mencatat dan menulis perjanjiannya. 

Padahal, dengan meluangkan waktu sejenak untuk menulis perjanjian utang piutang serta dilengkapi dengan kesaksian dua orang, utang piutang itu tentu tidak akan menimbulkan masalah, baik bagi si pengutang maupun yang berutang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun