Kisruh Program Organisasi Penggerak Kemendikbud
Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim mendapat kritik keras dan kontra dari banyak pihak. Dua organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah malah memutuskan mundur dan tidak ikut campur lagi. Mundurnya dua ormas ini disinyalir akibat kekecewaan mereka terhadap konsep, proses seleksi hingga pembiayaan POP yang dinilai tidak transparan, tidak tepat sasaran dan rentan KKN.
Sebelumnya, Kemendikbud melalui Institut SMERU selaku evaluator independen telah menyelesaikan seluruh tahapan proses evaluasi terhadap proposal organisasi kemasyarakatan yang mengikuti seleksi POP. Program ini diluncurkan sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode keempat pada 10 Maret 2020.
Melalui program ini, Mendikbud Nadiem Makarim mengajak sejumlah organisasi berlomba membuat rencana pelatihan guru di bidang literasi dan numerasi. Anggaran sebesar Rp. 595 miliar telah disiapkan Mendikbud untuk menyukseskan program tersebut.
Bagi organisasi yang terpilih, mereka akan mendapat dana mulai Rp. 1 miliar- Rp. 20 miliar. Besarnya nilai bantuan ini disesuaikan dengan kategori organisasi dan rekam jejaknya menurut penilaian tim evaluator dan Kemendikbud. Nantinya, dana bantuan tersebut akan digunakan untuk merealisasikan pelatihan guru di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Program pelatihan ini ditargetkan berlangsung selama dua tahun.
Kemendikbud sendiri membagi organisasi penggerak pendidikan menjadi kategori III, yakni kategori Gajah dengan bantuan maksimal Rp 20 miliar (minimal pengalaman 3 tahun), kategori Macan sebesar Rp 5 miliar (minimal pengalaman 1 tahun), dan Kijang Rp 1 miliar per tahun (minimal memiliki pengalaman pelatihan).
Dua Yayasan Konglomerat Dituding Menerima Dana Bantuan Pendidikan
Namun, proses seleksi dan pemilihan organisasi yang layak menerima bantuan tersebut menuai protes keras dari masyarakat hingga organisasi lain yang menganggap lebih punya pengalaman dalam hal pendidikan dasar dan menengah.
Salah satu pokok masalah adalah terpilihnya dua yayasan besar milik konglomerat, yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation yang masuk dalam kategori Gajah dan mendapat dana hibah Rp. 20 miliar. Masyarakat menganggap kedua yayasan ini tidak layak mendapat bantuan dari pemerintah.
Kemendikbud sendiri menepis kekhawatiran masyarakat dan mengatakan organisasi yang terpilih bisa menyelenggarakan pelatihan guru menggunakan dana mandiri.
"Organisasi dapat menanggung penuh atau sebagian biaya program yang diajukan," kata Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril, dalam keterangan tertulisnya kepada media, Kamis (23/7).
Sayangnya, skema dana mandiri dan pendampingan tersebut tak tercantum dalam Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, meski terlihat dalam lembar proposal yang harus diisi organisasi.
Terpilihnya Organisasi dan Lembaga Pendidikan yang Tidak Jelas Rekam Jejaknya
Selain terpilihnya dua yayasan konglomerat tersebut, masyarakat juga mengkritisi adanya sejumlah organisasi yang tidak jelas rekam jejaknya. Dari 156 ormas dan lembaga yang terpilih, terdapat beberapa organisasi yang tak bisa dijangkau rekam jejaknya. Apalagi dalam pengumuman seleksinya, Kemendikbud tidak mencantumkan rekam jejak para lembaga yang lolos. Padahal sebelumnya Kemendikbud menjanjikan semua organisasi yang terpilih memiliki rekam jejak yang jelas.
"Organisasi-organisasi yang terpilih sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah," papar Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Iwan Syahril pada Bincang Sore, Senin (20/7/2020).
Carut marut pemilihan organisasi dan lembaga yang bakal menerima hibah pembiayaan pelatihan ini akhirnya memicu mundurnya sejumlah organisasi besar. Selain NU dan Muhammadiyah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak.
Mundurnya tiga organisasi besar ini tentu sangat disayangkan. NU melalui Lembaga Pendidikan Ma'arif (LP Maa'rif) dan Muhammadiyah dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengahnya merupakan dua entitas pendidikan dengan rekam jejak panjang dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sementara PGRI merupakan wadah para guru yang tentunya juga memiliki pengalaman lebih dalam hal guru dan pendidikan.
Di masa pandemi, di saat dunia pendidikan kita membutuhkan perhatian yang serius dan tata kelola pembelajaran yang efektif, kisruh program organisasi penggerak ini tentu sangat memprihatinkan. Mendikbud Nadiem Makarim semestinya dapat mendengarkan suara dan kritik dari masyarakat sebelum dana bantuan dari pemerintah dicairkan.
Sebelum program ini terlaksana, alangkah bijaknya apabila Mas Nadiem meninjau ulang keputusan terpilihnya 156 organisasi agar dana hibah pemerintah ini benar-benar tetap sasaran. Jangan sampai apa yang ditudingkan masyarakat, bahwa ada organisasi yang rekam jejaknya tidak jelas mendapat dana bantuan hingga anggaran yang semestinya bisa digunakan untuk keperluan peningkatan kompetensi guru menjadi hilang percuma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H