Tidak banyak penulis yang mau dan berani menuliskan pengalaman hidupnya dengan penuh perasaan. Mereka yang tidak mau itu seringkali merasa malu, atau merasa tidak punya pengalaman hidup yang menarik untuk diceritakan.
Seperti keluhan seorang guru yang ikut dalam bimbingan menulis di mana saya menjadi pembimbingnya:
"Mas Himam, sampai sekarang saya belum tahu mau menulis apa."
"Tema paling mudah itu menulis pengalaman pribadi, Bu," kataku.
"Tapi saya enggak bisa bercerita, Mas. Enggak ada pengalaman hidup yang menarik untuk diceritakan."
Manfaat Menulis Pengalaman Hidup
Menulis cerita pribadi bukan hanya seputar pengalaman hidup yang menarik saja. Menuliskan pengalaman traumatis, atau saat-saat tertentu yang membuat hidup kita penuh kesedihan, penderitaan hingga menyebabkan stres juga banyak manfaatnya.
Menulis pengalaman traumatis telah lama diteliti dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Stres kita berkurang, yang mana berpengaruh dalam melindungi sistem kekebalan tubuh kita. Dengan menulis, kita menemukan keberanian dan dapat memproses emosi yang kuat.
Beberapa penulis terkenal  memproses penderitaan dan pergumulan batin mereka lewat tulisan. Saat dilanda kesedihan karena putrinya yang masih muda meninggal karena leukimia, Anne Frank memilih untuk melepaskan kesedihannya dengan menulis Interview With Vampire.
J.K Rowling juga menggunakan tulisan untuk memproses emosi paling gelap yang pernah ia rasakan, menjadi karakter "dementor" dalam serial Harry Potter. Sementara Mary Shelley menggambarkan keinginan untuk mengembalikan dua anaknya yang sudah meninggal dan saudara tirinya yang bunuh diri melalui deskripsi kebangkitan monster Frankeinstein yang diciptakannya; "Dia tidur; tetapi dia terbangun; dia membuka matanya; lihatlah".
Bagi para penulis terkenal itu, memproses emosi kesedihan dan trauma yang pernah mereka rasakan menjadi tulisan seolah menegaskan pada diri sendiri dan memberitahu orang lain bahwa "Saya bisa menangani ini."