Oleh karena itu lah pihak biro pers meminta izin kepada Presiden Jokowi untuk merilis video itu. "Kami meminta izin kepada Bapak Presiden untuk mempublikasikannya. Makanya baru dipublish hari ini," kata dia. Bey pun beralasan butuh proses panjang dan teliti untuk mempelajari video itu sehingga menghabiskan waktu sampai sepuluh hari.
"Kami pelajarinya agak lama juga, pelajari berulang-ulang," ujarnya.Â
Apa yang baik dan bagus untuk diketahui publik? Bahwa serapan anggaran penanggulangan Covid-19 baru 1,53 persen? Atau fakta bahwa insentif untuk tenaga kesehatan belum cair?
Ya, itu memang layak untuk diketahui oleh publik. Dan justru, fakta itu juga memperlihatkan betapa buruknya kinerja para menteri yang terkait.
Karena menteri dipilih dan menjadi hak prerogratif presiden, maka wajar pula bila momen marahnya presiden Jokowi malah dianggap mempertontokan aib sendiri.
Selain informasi tersebut, publik juga menilai ada unsur drama di balik publikasi kemarahan presiden Jokowi. Seperti yang diposting Rocky Gerung, marahnya presiden Jokowi menggunakan teks. Seolah kemarahannya sudah dipersiapkan sebelumnya.
Apakah jika tanpa teks presiden Jokowi tetap akan marah-marah?
Entahlah, karena masyarakat Indonesia belum pernah melihat presiden langsung memarahi atau minimal menegur pejabat yang dianggapnya tidak kompeten dalam menjalankan instruksinya. Mungkin perlu kiranya Sekretariat Presiden mengunggah video yang memperlihatkan presiden Jokowi marah atau menegur menteri tanpa teks.
Agar publik percaya bahwa marahnya presiden Jokowi adalah marah yang sebenarnya dan tidak ditunda-tunda karena teksnya belum disiapkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI