Wajar apabila ada pemimpin memarahi anak buahnya. Tidak ada yang aneh apabila seorang presiden memarahi para menterinya, pembantu-pembantunya yang dianggap tidak berkompeten membantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun, rasanya aneh apabila kemarahan itu baru dipublikasikan ke publik 10 hari kemudian. Maka, jangan heran apabila sebagian besar publik menilai kemarahan presiden Jokowi yang tengah hangat diperbincangkan saat ini tak lebih dari aksi theatrikal semata.
"Saya membuka yang namanya entah langkah politik, entah langkah-langkah kepemerintahan. Akan saya buka. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya," kata Jokowi dalam pernyataannya yang diunggah di akun Youtube Sekretariat Presiden, Minggu, 28 Juni 2020.
Video detik-detik presiden Jokowi memarahi para menterinya mengundang banyak penafsiran yang berbeda, apalagi dalam video tersebut presiden Jokowi tertangkap kamera sedang memarahi para menteri sambil membaca naskah tertulis. Ditambah lagi hingga saat ini masyarakat kita masih terpolarisasi menjadi dua kutub yang berlawanan arah: pendukung  presiden Jokowi dan pihak oposisi.
Berbagai Penafsiran Dari Video Kemarahan Jokowi
Bagi para pendukungnya, kemarahan presiden Jokowi adalah bentuk ketegasannya sebagai pemimpin. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko misalnya, mengibaratkan kemarahan Jokowi sebagai langkah strategis seorang panglima yang siap mengambil segala risiko dan mempertaruhkan reputasi politik.
"Memang Presiden mengatakan akan mengambil risiko, reputasi politik akan saya pertaruhkan." kata Moeldoko di kantor KSP.
Sementara bagi pihak oposisi, marahnya presiden Jokowi terhadap para menteri dianggap mempertontonkan aib kabinet pemerintahan yang dibentuknya sendiri.
"Pertama dari segi politik, kemarahan Jokowi ini justru mempertontonkan aib kabinet sendiri. Mestinya video itu sebatas konsumsi internal saja, tak perlu diumbar ke publik," kata Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno.
Pendapat senada juga diungkapkan pengamat komunikasi politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia.
"Kekecewaan presiden pada menteri sama saja kecewa pada diri sendiri," kata Dedi.