"Hush, gak boleh begitu. Lagipula, gak ada gunanya meladeni orang-orang seperti itu," komentar temanku lainnya yang jadi perawat di sebuah rumah sakit swasta.
"Lho, gak ada gunanya bagaimana? Memangnya kamu gak tersinggung dengan berbagai komentar dan tantangan Covidiot seperti mereka?"
"Tersinggung dan marah, iya. Tapi kemarahan itu tidak lantas mematikan nurani kita. Anggap saja mereka lagi cari perhatian, atau apa yang biasa disebut banyak orang lagi 'pansos'. Buktinya, setelah dipanggil polisi, seniman itu langsung mengelak dan membantah sudah mengatakan corona itu konspirasi fitnah. Apalagi sebutannya kalau tidak lagi cari perhatian atau panjat sosial?
Bagiku, apa pun opini yang hendak mereka bangun, tidak akan mengubah fakta bahwa Covid-19 itu nyata adanya. Itu sebabnya aku bilang meladeni tantangan orang-orang seperti itu tidak ada harganya. Lebih baik tenaga dan pikiran kita sumbangkan untuk mereka yang lebih membutuhkan. Seandainya mereka yang kamu sebut Covidiot itu tertular lalu sakit, kami, para tenaga kesehatan dengan ikhlas dan sepenuh hati akan merawat mereka sampai sembuh," jawab temanku yang perawat itu.
Benar, akhirnya aku paham mengapa tidak ada dokter, tenaga kesehatan bahkan pemerintah sendiri yang mau meladeni tantangan pemuja konspirasi. Menanggapi segala macam komentar mereka hanya membuang-buang energi dan waktu kita yang berharga. Seperti yang dikatakan teman perawat itu, lebih baik energi itu digunakan untuk berbuat kebaikan.
Teori-teori konspirasi dan opini liar yang mereka kembangkan tidak akan mengubah fakta dan kenyataan apa pun yang sedang kita hadapi. Bahwa kita saat ini masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19, bahwa penyakit Covid-19 itu berbahaya dan kalau kita lengah sedikit saja, bukan tidak mungkin kita akan semakin lama hidup berdampingan dengan virus corona.