"Assalamualaikum...dulur-dulu, tadi pagi saya dapat amanah, dari Mbah Uti. Katanya, pada hari raya besok jangan ke rumah Mbah Kung dulu, nunggu masa pandemi Covid-19 reda ya. Mohon dimengerti dan dimaklumi karena usia mereka sudah tua dan rentan."
Merayakan Lebaran di Tengah Keheningan
Pesan dari kakakku di grup Whatsapp keluarga semakin menambah kesedihan di tengah keheningan Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Tahun ini pertama kalinya Idul Fitri tanpa kehadiran sosok Ibu di tengah anak cucunya. Tahun ini pertama kalinya Idul Fitri dirayakan dalam balutan rasa cemas dan khawatir akan pandemi virus corona.
Mbah Uti dan Mbah Kung adalah bibi dan pamanku dari pihak ayah. Setelah Ibu tiada, paman dan bibiku menjadi orangtua yang tersisa.
Setiap kali lebaran, rumah mereka yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah Ibu selalu ramai dikunjungi sanak saudara dan tetangga. Pamanku termasuk salah satu sesepuh di kampung, sehingga banyak tetangga yang merasa perlu bersilaturahmi lebih dulu ke kediamannya.
Alhasil, para cucunya harus sabar menunggu giliran. Saat seperti ini biasanya kami gunakan untuk saling meminta maaf, sambil bernostalgia antar keluarga yang sudah terpisah-pisah.
Tapi, tahun ini rumah besar itu akan terlihat sepi. Atas kesadaran pribadi, paman dan bibiku meminta agar cucu-cucunya tidak berkunjung ke rumah. Mengingat usia mereka yang sudah tua, sangat rentan tertular virus corona maupun virus penyakit lainnya.
Begitu pula dengan tradisi saling anjangsana ke rumah-rumah tetangga, pemerintah sudah menghimbau untuk sebaiknya dihindari dulu. Kata pemerintah, cukuplah bermaaf-maafan lewat media sosial atau video call.
Ya, kecanggihan teknologi membuat kita bisa bersilaturahmi dengan hanya menatap layar ponsel. Jari jemari lalu meluncur mulus di papan ketik menuliskan kalimat demi kalimat ucapan maaf.
Etika Bermaaf-maafan di Hari Raya
Tapi, rasanya tidak sama bila kita bermaaf-maafan dengan langsung bertatap muka. Karena saat kita menyampaikan permintaan maaf lewat media sosial atau video call, kita sering melupakan etika.
Saat kita bermaaf-maafan lewat media sosial atau media perpesanan, untaian kalimat permintaan maaf dan ragam ucapan Selamat Idul Fitri seringkali hanya berupa kalimat-kalimat yang klise. Tidak kita tulis sendiri karena menyalin kalimat-kalimat ucapan yang sudah terkirim di berbagai grup perpesanan. Salin sana salin sini, kurang kreatif.
Selain itu, saat mengirimnya kita sering memakai fitur siaran/broadcast pada banyak penerima. Tidak spesifik ditujukan pada siapa salam tersebut, meskipun memang benar kita mengirimnya satu per satu pada orang-orang tertentu. Dengan satu kalimat yang sama, semua kontak pertemanan yang kita pilih dapat menerima pesan secara bersamaan.
Berbeda bila kita mengucapkan maaf dengan bertatap muka secara langsung pada orang yang hendak kita mintakan maaf. Menurut guru ngajiku dulu, etika bermaaf-maafan yang baik saat hari raya itu seyogyanya dengan saling menyebut nama dan menyebut kesalahannya.
Misalnya, "Mas Joko, selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin ya. Saya kapan hari pernah mengambil buah mangganya tanpa ijin."
Mengucapkan permintaan maaf dengan menyebut nama orang yang dituju jauh lebih mantap, terkesan akrab, komunikatif dan sangat spesial karena target atau penerima ucapan itu kita sapa secara langsung.
Kalau kita bertemu langsung, hampir pasti secara otomatis kita akan menyebut nama, sekalipun kebanyakan kita masih enggan menyebutkan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Karena bagaimanapun juga, salah adalah manusiawi sedang maaf adalah sifat illahi. Itulah sebabnya tidak mudah bagi kita untuk meniru, apalagi mencapai kata maaf, meminta dan memberi maaf. Sebab itu adalah sifat illahi.
Pintu maaf itu kecil, sempit, rendah, perlu membungkuk (merendahkan tubuh) untuk memasukinya. Berapa banyak dari kita yang bersedia membungkuk merendahkan tubuh untuk meminta maaf?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H