Sekilas Sejarah Hari Kebangkitan Nasional
Hari Kebangkitan Nasional  diperingati bangsa Indonesia atas peristiwa berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Ketika itu, puluhan anak muda berkumpul di aula STOVIA, sekolah dokter pribumi di Batavia.
Pertemuan ini dipelopori oleh Soetomo, salah seorang siswa STOVIA, bersama beberapa rekannya seperti Soeradji, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembrek, Mohammad Saleh, dan Soelaeman. Dalam pertemuan tersebut, para pemuda sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Boedi Oetomo.
Pendirian organisasi Boedi Oetomo awalnya berasal dari gagasan dr. Wahidin Soedirohusodo, seorang dokter Jawa dari kelas priyayi rendahan. Pada akhir 1907, dr. Wahidin diundang Soetomo dan Soeradji, siswa Stovia, untuk berceramah mengenai pentingnya pendidikan sebagai kunci kemajuan.
Dalam diskusi panjang mereka, Wahidin mengungkapkan gagasannya untuk mewujudkan sebuah lembaga beasiswa bagi pemuda bumiputra agar dapat melanjutkan studinya dengan baik.
Terpengaruh oleh gagasan serta semangat pengabdian Wahidin, Soetomo pun melontarkan pujian pada dokter muda ini. "Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami (Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi)." Dari pujian inilah kemudian nama organisasi Boed Oetomo diambil.
Penentuan tanggal berdirinya Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional sendiri dimulai sejak tahun 1949. Ketika itu, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno-Hatta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1948 sebagai hari Kebangkitan Nasional (saat itu istilahnya Kebangunan Nasional) yang ke-40.
Tema Hari Kebangkitan Nasional di Tengah Pandemi Covid-19
Tahun ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional di tengah bencana pandemi Covid-19. Dalam bayang-bayang kecemasan akibat wabah yang belum mereda sepenuhnya, tema Harkitnas yang dicanangkan pemerintah adalah Bangkit Dalam Optimisme Normal Baru.
Tema ini seperti merespon pernyataan presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk berdamai dengan virus corona. Selama vaksin virus corona belum ditemukan, presiden berharap aktivitas masyarakat bisa berjalan normal, dalam aturan pembatasan dan protokol kesehatan yang ketat.
Hampir satu semester dunia menghadapi situasi sulit sejak virus corona pertama kali mewabah di kota Wuhan, Cina. Di tengah ketidakpastian masa depan, ajakan menyikapi kehidupan secara wajar tengah dikemukakan banyak negara. The New Normal, atau Normal Baru menjadi istilah yang populer digunakan banyak orang menyebut era kehidupan pascapandemi.
Memahami Normal Baru
Normalitas adalah konstruksi sosial dan karenanya dapat ditempa. Konsepsi normal kita saat ini sangat dipengaruhi oleh narasi dominan yang mendefinisikan sistem kita.
Ketika dunia dipenuhi narasi protokol kesehatan Covid-19, normalitas kita mulai dilatih dan dibentuk. Memakai masker saat bekerja di luar, mencuci tangan usai bersalaman dengan setiap orang, dan menjaga jarak saat berada di tempat-tempat umum yang mengundang keramaian.
Kita juga "terpaksa" membentuk perilaku baru karena anjuran bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah sejak 15 Maret 2020.
Sederhananya, dalam waktu hampir enam bulan ini, virus corona "melatih" kita untuk mengubah pola kebiasaan hidup. Pandemi Covid-19 membuat kehidupan kita tidak akan pernah berjalan normal seperti sedia kala.
Normal Baru adalah era di mana perilaku kehidupan kita berubah sesuai dengan apa yang sudah kita bentuk akhir-akhir ini. Menjalankan normal baru dan berdamai dengan virus corona adalah bagian dari jalan keluar banyak negara selama vaksin Covid-19 belum ditemukan.
Setiap orang yang keluar rumah bisa dipastikan membawa atau mengenakan masker. Mungkin karena sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, model masker pun kian beragam. Beraktivitas tanpa nongkrong atau kumpul-kumpul, menggunakan transportasi publik dengan sejumlah pembatasan dan penerapan sejumlah protokol kesehatan juga akan jadi hal yang umum dan normal.
Apakah kita siap atau tidak menyambut kehidupan Normal Baru ini, tergantung bagaimana kesadaran kita menjaga perilaku baru hasil tempaan virus corona.
Setiap orang menghadapi pandemi Covid-19 ini dengan respon yang berbeda-beda. Apakah dengan produktivitas atau malah keengganan untuk beraktivitas dan tidak fokus pada tugas apa pun. Apakah dengan sadar dan patuh pada anjuran protokol kesehatan, atau malah merasa kebal dan menganggap remeh protokol kesehatan yang berlaku.
Namun, apapun respon yang ditunjukkan, tak akan bisa mengubah realitas bahwa kehidupan, pekerjaan dan rutinitas normal lama telah hilang.
Puasa Melatih Kita untuk Bangkit dan Optimis Menatap Normal Baru
Sebagaimana semangat para penggagas Boedi Oetomo yang menginginkan perubahan -- setidaknya bisa kita anggap normal baru -- pada bangsa Indonesia, seperti itulah seharusnya sikap kita dalam menghadapi ketidakpastian masa depan akibat pandemi corona.
Tetap optimis, bahwa kehidupan normal baru bisa kita jalankan dengan ringan tanpa ada paksaan. Karena bagaimanapun juga, hidup berdampingan dengan Covid-19 adalah satu-satunya jalan yang realistis di antara sekian banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan saat ini.
Bagi umat Islam, bulan Ramadan sudah menempa kita untuk menjadi pribadi yang lebih siap mengantisipasi dan beradaptasi dengan "normalitas yang baru". Bukankah dengan berpuasa selama bulan Ramadan ini kebiasaan normal kita berubah? Dari yang terbiasa sarapan dan makan siang di cafe atau restoran, menjadi puasa setengah harinya? Dari yang tidak terbiasa bangun pagi menjadi harus bangun dini hari untuk makan sahur?
Maka, sepatutnya pula umat Islam bisa bangkit dengan optimis menuju normal baru ini. Kapan itu? Mulai dari sekarang, mumpung bulan puasa belum berlalu dan pergi karena lebaran sebentar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H