Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Hidup di Tengah Pandemi Tak Seindah Iklan di Televisi

17 Mei 2020   06:07 Diperbarui: 17 Mei 2020   06:26 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membayangkan hidup di saat pandemi itu indah seperti iklan di televisi sulit sekali (foto: bisnis.com/Himawan L Nugraha)

"Kalau melihat iklan-iklan di televisi, hidup saat pandemi seperti ini kayaknya gak susah ya Mas. Bawaannya bahagia terus," kata istriku tiba-tiba. Sambil menisik baju, sesekali matanya melirik layar kaca di atas meja ruang keluarga.

"Maksudnya bagaimana?" tanyaku tidak mengerti. Pikiranku saat itu tengah berkonsentrasi menyunting naskah buku peserta program Satu Guru Satu Buku yang digagas Komunitas Penulis Buku Malang.

"Ya lihat aja iklan tadi. Sepertinya mudah banget melupakan kesulitan hidup. Saat pandemi kita bisa lebih fokus ibadah lah, bisa kerja bareng anak lah, suami bisa membantu istri lah....tapi kenyataannya kan beda banget."

Oalah, yang dimaksud istriku ternyata iklan Ramadan dari sebuah brand susu ternama. Di iklan berdurasi 30 detik itu, diceritakan bahwa Ramadan tahun ini yang terasa berbeda tidak menghentikan kita untuk bersyukur atas berkahNya.

"Lho kan memang seharusnya begitu. Apapun keadaan yang menimpa kita, sesulit apapun kehidupan yang kita jalani, selalu ada sisi positif yang patut kita syukuri," kataku meyakinkan.

"Iya, kita memang harus selalu bersyukur. Selalu melihat ke bawah biar tahu banyak yang masih lebih susah daripada keadaan kita sendiri. Tapi, membayangkan kehidupan ala iklan di televisi itu kok ya sulit banget to."

"Sulitnya bagaimana coba?" tanyaku pura-pura tidak mengerti, padahal paham betul apa yang dimaksud istriku.

Setelah menghela nafas panjang, istriku meletakkan baju yang ditisiknya. Wajahnya menatapku serius, lama, lalu mendadak tersenyum dan tertawa.

"Alah, kura-kura dalam perahu. Lha wong kita sendiri mengalaminya kok masih bertanya."

Mau tak mau aku ikut tersenyum. Benar kata istriku, membayangkan hidup di saat pandemi itu indah seperti iklan di televisi sulit sekali.

Bagaimana bisa fokus pada ibadah, sementara pikiran melayang ke mana-mana memikirkan sumber penghasilan yang mendadak hilang?

Bagaimana bisa kerja bareng anak, sementara pekerjaan untuk menafkahi hidup itu tidak punya lagi?

Bagaimana suami bisa membantu istri, sementara dirinya sendiri sibuk mencari penghasilan agar perut keluarganya bisa kenyang?

"Ya namanya juga iklan. Yang dijual itu utopia, bukan fakta. Itu kan memang termasuk strategi pemasaran mereka. Bahasa teknisnya disebut riding the moment, numpang tenar lewat momentum yang ada. Lagipula, di saat kesusahan seperti ini, tema iklan yang paling laris itu ya yang mencari simpati. Ketemulah momen Ramadan itu dengan situasi pandemi," jelasku panjang lebar.

"Ah, tetap saja bagiku itu terlalu berlebihan, dan susah untuk dipraktikkan," sanggah istriku.

"Sekalipun susah, tapi kan tidak ada salahnya dicoba. Kalau menurutku sih itu bagus, bisa menjadi penyemangat kita untuk tetap bertahan dan tetap bisa bersyukur di tengah himpitan hidup yang kian keras dan kuat."

Istriku terdiam, entah merenungi ucapanku atau sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku sendiri mencoba untuk mencerna kembali percakapan dengan istriku tadi, benarkah sesulit itu untuk bisa bersyukur di saat hidup mengalami tekanan yang begitu hebat seperti masa pandemi ini?

Aku jadi ingat dengan kutipan ceramah, bahwa penderitaan hidup itu hadir karena kita salah berlogika. Selama ini, kita selalu menganggap kesulitan sebagai sebab dari penderitaan. Ini logika yang dipakai manusia.

Sekarang coba pakai logikanya Allah. Dalam salah satu ayat, Allah berfirman, "Dibalik kesulitan ada kemudahan".

Kalau logika ini kita gunakan, artinya kesulitan itu penyebab kemudahan. Kalau logika ini kita pakai, ekpresi ketika kita mendapat kesulitan bukan putus asa, tapi harapan bahwa akan datang kemudahan. Semakin besar kesulitan yang kita hadapi maka semakin besar kemudahan yang akan kita dapatkan.

Jadi kalau kita menggunakan logika Allah, kesulitan itu bukan sebab keputusasaan, tetapi menjadi sebab lahirnya harapan besar. Dan bagi orang-orang yang menggunakan logika Allah, kesulitan hidup itu dirangkul dengan baik agar Allah berkenan memberikan kemudahan yang lebih besar.

Sama halnya dengan kesulitan hidup di saat pandemi seperti ini. Alih-alih menolak kenyataan dan terus mengkhawatirkan apa yang akan terjadi kelak, lebih baik kita fokus untuk memanfaatkan hari ini, saat ini juga, dengan segala potensi yang kita miliki. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi kita untuk mensyukuri setiap berkahNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun