Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Syukurlah, Pandemi Corona Menyadarkan Kita agar Tidak Kalap Berbelanja

2 Mei 2020   06:37 Diperbarui: 2 Mei 2020   07:00 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pandemi Corona menyadarkan kita untuk tidak kalap berbelanja makanan (dokpri)

Entah apa yang ada di pikiran kita khususnya umat Islam, setiap kali bulan Ramadan datang pengeluaran malah bertambah banyak. Coba ingat kembali bulan Ramadan tahun-tahun yang lalu, kebutuhan bahan pokok dan makanan melonjak tajam dibandingkan bulan-bulan lainnya. Betul tidak?

Padahal, kalau dinalar secara sederhana, pola konsumsi di bulan Ramadan semestinya sedikit karena kita berpuasa di siang hari. Dengan begitu harga pangan jadi turun dan ketersediaannya mencukupi bahkan lebih.

Kontradiksi Antara Praktik Fikih Puasa dan Praktik Ekonomi

Tapi faktanya tidak demikian. Menjelang bulan Ramadan, harga pangan perlahan naik, bahkan beberapa kebutuhan pokok mulai langka.

Penyebab dari melonjaknya konsumsi dan belanja makanan selama bulan Ramadan sebagian besar karena pola konsumtif dan gaya hidup hedonis yang masih mewarnai masyarakat kita. Anggaran terbesar yang keluar di bulan Ramadan terjadi untuk ritual berbuka puasa.

Ada yang berdalih bahwa bahan makanan "ditumpuk" untuk berbuka puasa, sekalian "bersedekah" pada penjualnya. Ini pun aneh untuk aktivitas di bulan Ramadan, karena bagaimanapun Allah melalui firmannya di surah Al A'raf ayat 31 mengajarkan umat untuk tidak berlebihan saat makan, apalagi saat bulan puasa. 

Memang, tidak ada masalah dengan ritual sosial seperti buka bersama atau menikmati makanan-makanan khas yang cuma ada di bulan Ramadan. Selama ritual tersebut diimbangi dengan pemahaman konteks berpuasa yang benar, yakni menahan nafsu. Dalam arti sederhana, tidak berlebihan kala mengonsumsi makanan saat waktu berbuka tiba dan juga tidak berlebihan saat berbelanja kebutuhan lainnya.

Kontradiksi antara praktik ekonomi dan praktik fikih berpuasa ini terus terulang setiap tahunnya. Hingga tanpa sadar, kita sendirilah yang mendistorsi makna puasa itu sendiri.

Pandemi Covid-19 Menyadarkan Kita untuk Memaknai Hakekat Puasa yang Sebenarnya

Mendadak, pada Ramadan tahun ini, Allah seolah ingin menyadarkan umat Islam. Melalui  virus corona, Allah langsung "turun tangan" mengekang hawa nafsu kita, mengajarkan pada kita untuk tidak kalap berbelanja dan bentuk-bentuk pola konsumtif dan hedonis lainnya.

Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan semua sendi kehidupan masyarakat dunia. Perekonomian setiap negara terancam jatuh ke jurang resesi. Yang kaya jatuh miskin, yang miskin bertambah penderitaannya.

Dalam kondisi seperti ini, setiap orang dituntut untuk makin selektif saat berbelanja. Memilih dan memilah mana kebutuhan pokok yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Steven Covey dalam bukunya "7 Habits of Highly Effective People" menasehatkan bahwa kita harus memprioritaskan hal-hal yang sangat penting terlebih dulu ketimbang hal lainnya. First thing first. Alih-alih menumpuk barang, lebih baik memenuhi sekedar yang dibutuhkan.

Kita bisa melihat contohnya saat banyak orang dilanda panic buying membeli masker, barang yang tiba-tiba menjadi trending dan langsung raib dari pasar. Dari yang semula 1 box harganya tak sampai Rp.100 ribu, mendadak naik berkali-kali lipat.

Seolah ingin balas dendam, harga masker langsung terjun bebas, kembali ke harga awalnya. Orang-orang yang dulu menimbun masker dengan harapan bisa menangguk untung besar sekarang gigit jari. Masker yang sudah kadung ditimbun langsung diobral semurah-murahnya.

Begitu pula dalam hal belanja makanan. Sebelum pandemi, nafsu belanja makanan kita menjadi liar tak terkendali. Saat siang mungkin banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu lainnya. Tapi perhatikanlah setelah adzan maghrib tiba.

Ini adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Seolah tidak afdhol jika tidak berbuka puasa dengan makan di luar rumah bersama teman-teman, relasi atau rekan kerja. Dari semula kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin pelesir ke negeri jiran.

Berbuka puasa juga kurang nikmat jika tidak ada menu makanan khas Ramadan. Pasar takjil ramai dijejali masyarakat yang berburu makanan "langka", yang mungkin hanya sekali dalam setahun bisa dinikmati. Sekali dua kali tidak mengapa. Tapi bagaimana jika "ritual" itu berlangsung selama satu bulan penuh? 

Sekarang, kita harus berpikir dua kali jika ingin menumpuk bahan makanan. Kita mulai belajar mengurutkan ulang daftar belanja yang harus segera dipenuhi. Kita mulai belajar memangkas piramida kebutuhan, dari yang semula bisa sampai tersier sekarang mungkin cuma jadi dua: kebutuhan primer dan sekunder saja.

Tak ada lagi buka puasa bersama. Tak ada lagi hangout ke mall atau kafe-kafe mewah. Tak ada lagi pasar takjil yang menyediakan aneka menu khas Ramadan, meski setidaknya masih bisa kita lihat beberapa penjualnya di pinggir jalan.

Kita bisa melihat pandemi Covid-19 ini dalam perspektif yang baru, bahwa dengan kehendak-Nya, kita bisa memaknai hakekat ibadah puasa dengan sebenarnya. 

Puasa seyogyanya dimaknai sebagai upaya untuk menahan aneka hawa nafsu pada diri, termasuk diantaranya berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu dan tidak kalap berbelanja makanan. Al Quran secara tegas menjelaskan bahwa berlebihan akan menyeret kita pada kemubaziran, dan orang yang mubadzir itu teman karibnya setan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun