Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Salahkan Pemudik yang Hendak Pulang Kampung

23 April 2020   22:47 Diperbarui: 23 April 2020   22:51 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keputusan warga untuk mudik ke kampung halaman tidak bisa disalahkan begitu saja (foto ilustrasi: ANTARA/Asep Fathulrahman melalui republika.co.id)

Tanggul itu akhirnya jebol juga. Menjelang batas waktu larangan mudik, ribuan pemudik justru memadati beberapa titik keberangakatan, seperti terminal bus dan pelabuhan.

Lonjakan Pemudik yang Pulang Kampung Jelang Pelarangan Mudik

Pemerintah memutuskan untuk melarang mudik mulai 24 April. Sebagai implementasinya, Kementerian Perhubungan menetapkan batas waktu pelarangan yang berbeda untuk setiap moda transportasi.

"Untuk transportasi darat, peraturan ini akan mulai berlaku pada tanggal 24 April 2020 pukul 00.00 WIB sampai dengan 31 Mei 2020, Sementara untuk moda kereta api, akan diberlakukan sampai tanggal 15 Juni 2020," kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati dalam telekonferensi, Kamis 23 April 2020.

Selain itu, Adita juga menjelaskan bahwa untuk transportasi laut, pelarangan mudik ini akan diberlakukan sampai tanggal 8 Juni 2020, dan untuk transportasi udara akan diberlakukan hingga tanggal 1 Juni 2020.

Di terminal Pulogebang, jumlah pemudik mengalami lonjakan dibandingkan hari-hari biasa selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lonjakan pemudik juga terlihat di pelabuhan Merak. Pada Rabu (22/4), sebanyak 17.254 orang menyeberang ke pulau Sumatera melalui pelabuhan Merak. Jumlah ini naik berkali-kali lipat dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Lebih Baik Mudik Daripada Diam Tak Ada Penghasilan

Keputusan warga yang memilih untuk mudik lebih cepat, alih-alih mematuhi larangan pemerintah tidak bisa disalahkan begitu saja. Dengan kondisi perekonomian yang sulit, ditambah pembatasan sosial berskala besar, warga perantauan tidak bisa berbuat banyak di kota-kota tempat mereka mencari penghidupan.

Hanya berdiam diri di rumah, pekerjaan pun tidak punya, apalagi yang bisa mereka harapkan selama tinggal di kota? Dalam kondisi normal, mereka mungkin masih punya keinginan untuk tetap bertahan sembari mencari sedikit pengharapan.

Namun, dalam situasi pandemi seperti ini, hanya bertahan tanpa ada penghasilan itu sama artinya dengan bunuh diri. Sementara bantuan pemerintah juga tak kunjung mereka dapatkan.

Dalam pemikiran mereka, lebih baik pulang ke kampung halaman. Setidaknya di kampung halaman mereka masih bisa menyambung hidup, entah sampai kapan.

Mudah bagi orang-orang yang masih punya tabungan dan bekal penghidupan untuk menyalahkan mereka. Mudah bagi orang-orang kota yang masih punya sumber penghasilan untuk menghakimi mereka sebagai sumber penyebaran virus corona di pelosok daerah.

Namun, pernahkah orang-orang seperti ini memikirkan nasib mereka seandainya mereka masih bertahan di perantauan? Pernahkah kita merasa peduli dengan orang-orang udik yang demi sesuap nasi rela merantau jauh dari keluarga di kampung halaman?

Dibandingkan kita yang masih berkecukupan dan memenuhi himbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah, orang-orang udik ini dua kali menghadapi risiko. Risiko tertular virus corona selama perjalanan mudik mereka, dan risiko dijauhi tetangga hingga sanak saudara karena dianggap sebagai penyebar virusnya.

Tapi mau bagaimana lagi, bagi mereka inilah satu-satunya pilihan yang realistis. Layaknya ungkapan yang berasal dari teori evolusi Darwin,  "survival of the fittest", beginilah cara mereka menghadapi mekanisme seleksi alam. Orang-orang ini, pemudik yang sedang dan hendak pulang kampung hanya ingin bertahan menghadapi ganasnya persaingan hidup di tengah pandemi Covid-19.

Kita Menghadapi Badai yang Sama di Kapal yang Berbeda

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, kita memang menghadapi badai yang sama. Tapi kita masing-masing menaiki kapal yang berbeda-beda. Kapal kita bisa saja selamat, dan kapal mereka mungkin saja karam. Atau sebaliknya.

Di twitter, ada netizen yang memposting kemarahannya pada masyarakat yang masih bandel berkeliaran di luar rumah, sementara dia baru saja kehilangan ayahnya yang dibunuh virus corona. Lewat berita kita tahu, Ibu Yuli meninggal dunia setelah 2 hari hanya minum air galon karena tak ada bantuan sosial dari siapapun di sekitarnya.

Bagi sebagian orang, bekerja dari rumah itu menyenangkan. Mereka bisa berkumpul dengan keluarga, menikmati kebersamaan yang sebelumnya tak pernah mereka dapatkan.

Bagi yang lain, pembatasan sosial berarti krisis keuangan dan keluarga yang menyedihkan. Pilihannya cuma dua: membiarkan keluarga mati kelaparan atau nekat melanggar karantina dengan risiko tertular virus corona.

Ini fakta, bukan sekedar distopia. Virus corona hampir membunuh semua sendi kehidupan kita. Kecuali satu, kebaikan kita pada sesama.

Jangan hanya bisa menyalahkan atau menghakimi para pemudik yang pulang kampung. Daripada energi kita habis percuma, lebih baik ulurkan tangan. Selamatkan mereka yang sedang berjuang mempertahankan kapal yang hendak karam, agar kita bisa menghadapai badai ini layaknya satu gelombang di lautan yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun