Dari balik dinding benteng Lam Kuta, Kreung Raya, perempuan itu dengan rasa marah yang bergejolak menatap tajam ke laut lepas di Selat Malaka. Di kejauhan sana, terlihat jelas dua kapal besar berbendera Belanda menghadapkan ujung kapalnya ke pelabuhan Aceh, seakan bersiap untuk menyerang.
Kemudian perempuan itu mengangkat tangannya sembari berseru lantang. Dengan nada yang tegas dan dilapisi keyakinan dan semangat membara, ia memerintah anak buahnya untuk menyiapkan kapal perang. Diiringi ratusan anak buahnya, perempuan yang menduduki pucuk pimpinan tertinggi angkatan laut kerajaan dengan pangkat laksamana ini menaiki kapalnya.
Sauh diangkat, layar dikembangkan. Gemuruh air laut seolah menjadi musik penyemangat puluhan kapal besar berisi ribuan tentara wanita dari pasukan Inong Balee -- pasukan janda pemberani. Laksamana Malahayati, perempuan perkasa pemimpin pasukan Inong Balee itu berada di kapal terdepan.
Keperkasaan Malahayati Menewaskan Cornelis de Houtman
Sebelum pertempuran di Selat Malaka itu, tepatnya 21 Juni 1599, Kerajaan Aceh mendapat kunjungan dua kapal Belanda yang bernama "Deleeuw" dan "Deleeuwin" yang dikapteni oleh Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman. Maksud kedatangan mereka sebenarnya cukup bermanfaat yaitu untuk membuat perjanjian dagang sekaligus meminjamkan dua kapal mereka.
Semula, hubungan para pendatang dari Belanda itu dengan rakyat dan Kesultanan Aceh Darussalam terjalin baik-baik saja. Sampai kemudian, akibat tingkah orang-orang Belanda serta provokasi dari seorang Portugis yang dipercaya oleh Sultan Alauddin, mulai muncul benih-benih pertikaian.
Puncaknya, de Houtman bersaudara dianggap menghina Sultan Alaudin. Laksamana Malahayati, yang saat itu juga menjabat sebagai Komandan Istana Darud Dunia--Kepala Pengawal sekaligus Panglima Protokol Istana -- diperintah Sultan Alaudin untuk menangkap de Houtman bersaudara, hidup atau mati.
Maka, pada 11 September 1599, Malahayati memimpin armada kapal perangnya. Setelah bermanuver menghindari tembakan meriam kapal Deleeuw dan Deleeuwin, kapal yang ditumpangi Laksamana Malahayati berhasil mencapai kapal Deleeuwin yang dikomandani Cornelis de Houtman.
Saling serang terjadi diantara anak buah kapal dan pasukan Inong Balee. Hingga Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis de Houtman sendiri.
Dengan menggenggam erat sepucuk rencong di tangannya, Malahayati meladeni pertarungan satu lawan satu melawan si kapten Belanda yang bersenjatakan pedang. Pada satu kesempatan di tengah pertarungan, Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga tewas.
Semangat awak kapal Deleeuwin langsung rontok saat mengetahui kapten mereka tewas di tangan wanita. Sementara di kapal Deleeuw, Frederick de Houtman berhasil ditangkap. Peristiwa heroik ini dikisahkan kembali oleh Marie van C. Zeggelen (1935) dalam buku berjudul Oude Glorie.
Reputasi Laksamana Malahayati Terdengar di Seantero Dunia
Tidak sekali ini saja Laksamana Malahayati menunjukkan keberanian dan bakat kepemimpinannya. Pada 1600, sekelompok kapal Belanda yang dipimpin oleh Paulus van Caerden, merampok kapal dagang lada Aceh di lepas pantai Aceh.
Pada Juni 1601, armada kapal Belanda yang dipimpin Admiral Jacob van Neck mendekat ke pelabuhan Aceh. Awalnya, mereka memperkenalkan diri sebagai pedagang yang hendak membeli rempah-rempah.
Namun, ketika tahu mereka berasal dari Belanda, Laksamana Malahayati memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Jacob van Neck. Langkah Malahayati ini didukung Sultan Alaudin dengan alasan sebagai kompensasi atas perampokan yang dilakukan armada kapal pimpinan Paulus van Caerden.
Penangkapan Admiral Jacob van Neck mengusik kerajaan Belanda. Pangeran Maurits van Oranje lantas mengirim utusan disertai surat permintaan maaf diplomatik yang dibawa Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy.
Pada Agustus 1601, Laksamana Malahayati bertemu kedua utusan itu dan mengadakan perjanjian. Gencatan senjata disepakati dan Belanda membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara Malahayati membebaskan tahanan Belanda.
Reputasi dan keperkasaan Laksamana Malahayati sebagai penjaga kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam membuat kerajaan Inggris -- yang saat itu sedang berlomba dengan Belanda dan Portugis mencari jalur perdagangan di Asia --memilih jalan diplomatik. Pada 1602, James Lancaster memimpin armada Inggris dengan bekal sepucuk surat dari Ratu Elizabeth I. Laksamana Malahayati ditunjuk Sultan Alaudin untuk memimpin negosiasi dengan Lancaster.
Perjanjian yang diteken Malahayati dan James Lancaster tersebut akhirnya membuka rute Inggris ke Jawa. Hingga kemudian kerajaan Inggris berhasil membangun kantor dagang di Banten. Atas keberhasilan diplomasinya dengan Aceh dan membuka kantor dagang di Banten, James Lancaster dianugerahi gelar bangsawan oleh Ratu Elizabeth I.
Malahayati, dari Janda Menjadi Laksamana
Sejarah perjuangan Laksamana Malahayati adalah bukti bahwa sejak dahulu kaum wanita Indonesia bisa mengambil peran yang tak kalah penting dengan kaum pria. Jauh sebelum Raden Ajeng Kartini menuliskan gagasannya tentang emansipasi wanita.
Malahayati memang tidak menuliskan pemikirannya. Sebaliknya, perempuan bernama asli Keumalahayati ini langsung memberi teladan melalui praktik kehidupannya sendiri.
Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari pihak ayah  adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530--1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513--1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Usai menamatkan pendidikan agama di pesantren, Malahayati memilih jalur militer sebagai pilihan hidupnya. Malahayati ingin meneruskan jejak ayah dan kakeknya, menjadi pimpinan armada laut. Pilihan yang tidak umum mengingat pada masa itu jalur militer dikuasai kaum pria.
Tapi, Malahayati membuktikan bahwa kaum perempuan juga bisa berkarir di bidang militer. Di akademi militer kerajaan Aceh yang disebut Ma'had Baitul Makdis, Malahayati berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik.
Karir militer Malahayati menanjak dengan cepat. Oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604), ia ditunjuk menjadi Komandan Istana Darud-Dunia - Kepala Pengawal sekaligus Panglima Protokol Istana- menggantikan suaminya yang gugur saat menghadapi Portugis di Teluk Haru, perairan Malaka. Penunjukan ini menjadi bukti bahwa Sultan percaya akan kemampuan militer Malahayati, sekaligus pengetahuannya tentang etika dan protokol kerajaan.
Setelah suaminya tewas dalam pertempuran di Teluk Haru, Malahayati berjanji akan membalas dendam dan bertekad melanjutkan perjuangan suaminya. Malahayati kemudian mengajukan proposal ke Sultan Alaudin, untuk membentuk pasukan tentara yang terdiri dari janda-janda yang suami mereka tewas saat menghadapi Portugis di Teluk Haru.
Sultan Alaudin menyetujui usulan Malahayati dan memberi nama pasukan "Inong Balee". Tak hanya itu, Sultan juga menganugerahi gelar Laksamana dan menunjuk Malahayati untuk memimpin armada laut tersendiri, yang terdiri dari 1000 janda pemberani.
Berabad-abad kemudian, tepatnya pada 6 November 2017, presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyematkan gelar Pahlawan Nasional untuk Malahayati. Namanya kini mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa, sebagaimana para pejuang perempuan Indonesia lainnya.
Semangat Laksamana Malahayati, Semangat Kita Menghadapi Pandemi
Kisah hidup Laksamana Malahayati tersebut menjadi bukti nyata bahwa kaum perempuan di Indonesia sejak lama sudah memiliki pemikiran yang maju dan andil perjuangan yang besar. Semangat yang ditunjukkan Laksamana Malahayati usai ditinggal pergi suaminya yang tewas dalam pertempuran hendaknya juga bisa menginspirasi kita semua untuk bisa bangkit di saat kehidupan kita terpuruk akibat pandemi corona.
Seperti yang ditunjukkan Malahayati, semangat untuk terus berjuang sekalipun tengah didera kesedihan akan membuahkan hasil yang gemilang di masa depan.
Referensi:
Admiral Keumalahayati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H