Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah di Balik Masker N95

8 April 2020   07:46 Diperbarui: 8 April 2020   07:59 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenaga medis memakai masker buatan dokter Wu selama wabah penyakit di Manchuria, 1911 (University of Cambridge melalui fastcompany.com)

Sejak pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, harga masker naik tidak terkira. Salah satu jenis masker yang paling banyak dicari adalah masker N95. Hingga banyak orang mengidentikkan virus corona itu sama dengan masker N95.

Masker N95 diklaim bisa mencegah virus masuk ke pernafasan orang yang memakainya. Masker ini memang dibuat dari bahan polimer yang bisa menyaring 95% partikel di udara, seperti virus, yang tidak bisa dilakukan masker lainnya.

Sekalipun identik dengan virus terkini, dan dibuat dengan teknologi tingkat tinggi, masker N95 memiliki sejarah panjang. Ide pembuatan masker N95 dimulai pada tahun 1910, oleh seorang dokter yang tidak dikenal yang ingin menyelamatkan dunia dari salah satu wabah penyakit terburuk yang pernah ada. Berikut kisah di balik masker N95 seperti yang diceritakan Christos Lysteris, dosen senior di Departemen Antropologi Sosial di Universitas St. Andrews, yang ahli dalam sejarah masker medis.

Sejarah Masker Medis

Saat itu musim gugur 1910 di Manchuria (sekarang masuk wilayah Cina utara). Sebuah wabah penyakit misterius menyerang wilayah yang sedang diperebutkan Rusia dan Cina.

Wabah penyakit ini benar-benar mengerikan, membunuh 100 persen orang yang terinfeksi dalam waktu 24-48 jam dari gejala pertama. Rasanya benar-benar seperti kiamat. Jauh lebih buruk dari pandemi Black Death yang menyerang daratan Eropa pada abad-14.

Pemerintah Rusia dan Cina, yang sedang bersengketa atas wilayah tersebut tidak tinggal diam. Yang terjadi selanjutnya adalah perlombaan ilmiah antar kedua negara tersebut. Seolah Rusia dan Cina ingin membuktikan, siapa yang pertama kali berhasil menemukan obat atau vaksinnya, maka mereka yang berhak mengklaim wilayah Manchuria.

Pemerintah Kekaisaran Cina (waktu itu belum berbentuk republik) menunjuk dokter Lien-teh Wu sebagai ketua gugus tugas yang menangani wabah penyakit tersebut. Wu yang lahir di Penang, adalah dokter lulusan Universitas Cambridge. Usianya masih muda dan bahasa mandarinnya sangat buruk karena sejak kecil terbiasa berbahasa Inggris.

Usai ditunjuk, segera Wu mengotopsi seorang korban. Berbeda dengan banyak ahli lain yang menduga penyakit itu disebarkan oleh kutu binatang, Wu menyimpulkan penyakit tersebut disebarkan lewat udara.

Wu kemudian merancang masker bedah seperti yang pernah ia lihat saat masih belajar di Cambridge, namun dengan sedikit modifikasi. Wu mengembangkan masker yang lebih keras dari kain kasa dan kapas, yang membungkus dengan aman di sekitar wajah seseorang dan menambahkan beberapa lapis kain untuk menyaring pernafasan.

Masker buatan Wu adalah terobosan baru, namun banyak dokter dan ahli kesehatan lain meragukan kemanjurannya mencegah penularan penyakit misterius tersebut. Salah satunya adalah dokter Gerald Mesny, dokter tua yang banyak pengalaman dari Prancis.

Wu menjelaskan pada Mesny bahwa penyakit tersebut sejenis pneumonia dan bisa ditularkan lewat udara. Namun, Mesny malah mencela penjelasan Wu dengan kalimat rasis,

"Apa yang bisa kita harapkan dari orang Cina?"

Dengan maksud ingin mempermalukan Wu, Mesny nekad memeriksa pasien di rumah sakit terdekat tanpa mengenakan masker buatan Wu. Dua hari kemudian dokter Gerald Mesny tewas karena infeksi penyakit tersebut.

Dokter-dokter lain di wilayah tersebut mencoba untuk mengembangkan masker sendiri-sendiri. Namun masker buatan Wu lebih teruji secara empiris dapat melindungi pengguna dari bakteri. Selain itu, masker yang dirancang Wu dapat dibuat secara handmade dengan bahan-bahan yang mudah didapat dan murah.

Tenaga medis memakai masker buatan dokter Wu selama wabah penyakit di Manchuria, 1911 (University of Cambridge melalui fastcompany.com)
Tenaga medis memakai masker buatan dokter Wu selama wabah penyakit di Manchuria, 1911 (University of Cambridge melalui fastcompany.com)
Antara Januari dan Februari 1911, pemerintah Cina mulai memproduksi masker buatan Wu besar-besaran hingga jumlah yang tidak diketahui. Tenaga medis memakainya, tentara mengenakannya, dan orang-orang di wilayah epidemi yang keluar rumah juga menggunakannya. Ini tidak hanya membantu meredam penyebaran wabah penyakit. Lebih dari itu, masker akhirnya menjadi simbol ilmu kedokteran modern untuk mengatasi epidemi.

Popularitas masker Wu pun melesat menembus batas Tembok Besar Cina melalui berita di surat kabar internasional. Saat dunia dilanda pandemi flu pada 1918, masker Wu terkenal di kalangan ilmuwan dan masyarakat. Perusahaan di seluruh dunia tanpa sungkan meniru dan memproduksi masker serupa untuk membantu mengurangi penyebaran penyakit flu.

Masker N95, Dari Industri Pertambangan Ke Rumah Sakit

Masker N95 yang diproduksi 3M dan menjadi terkenal karena wabah virus corona merupakan turunan dari masker buatan dokter Wu. Perusahaan yang aslinya bernama Minnesota Mining & Manufacturing Company ini awalnya bergerak di bidang pertambangan mineral. Didirikan pada 1902, 3M mulanya hendak menambang korundum, mineral yang ideal untuk membuat amplas dan roda gerinda.

Ternyata, apa yang mereka pikir korundum tidak lain hanya mineral tingkat rendah yang disebut anorthosite. Meski begitu, 3M  yang pada 1905 pindah ke Duluth tetap meneliti dan membuat amplas sebagai produk utama mereka. Lambat laun, rantai produksi 3M mulai berjalan di industri kimia.

Pada 1951, DuPont mulai membeli PFOA dari 3M untuk digunakan dalam pembuatan teflon. Sejak itu, produk berlapis teflon dari DuPont menjadi sumber penghasilan miliaran dolar mereka. Perusahaan 3M pun kian fokus pada produksi bahan baku industri berbasis bahan kimia.

Di periode tahun yang sama, Sara Little Turnbull, mantan editor dekorasi untuk majalah House Beatiful berkonsultasi dengan divisi "Pembungkus Kado" perusahaan 3M. Saat itu, 3M yang memproduksi pita tengah mengembangkan teknologi untuk mengambil polimer yang meleleh dan meledakkannya menjadi kain serat kecil agar pita menjadi lebih kaku. Turnbull menyadari potensi yang lebih besar untuk proses ini, dan dia mulai bereksperimen dengan bahan tersebut untuk bantalan bahu, serta bagian lain dari industri fesyen.

Pada 1958, Turnbull mengajukan presentasi ke 3M dan mendorong 3M untuk masuk ke bisnis produk non bahan baku pita ini dengan cara yang lebih besar. Dia mempresentasikan lebih dari 100 ide produk untuk teknologi tersebut hingga kemudian Turnbull  ditugaskan untuk merancang bra yang dicetak.

Sayangnya, di tahun-tahun yang sama, Trunbull harus menghabiskan banyak waktu mengunjungi anggota keluarga yang sakit di rumah sakit. Dia kehilangan tiga orang yang dicintai secara berurutan. Dan dari kesedihan itu muncul penemuan baru: Masker bedah "gelembung" yang dirilis 3M pada tahun 1961. Masker ini, diilhami dari cangkir bra yang juga dirancang Turnbull sendiri.

Namun, saat itu masker bedah "gelembung" yang baru dirilis 3M tidak mampu memblokir patogen hingga 3M menyebut masker itu sebagai masker "debu". Pada tahun 1970-an, Biro Pertambangan dan Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja bekerja sama dalam menciptakan kriteria pertama untuk apa yang mereka sebut "respirator sekali pakai."

Prinsip Kerja Masker N95

Masker "debu" dari 3M akhirnya disetujui sebagai masker respirator pada 1972 setelah perusahaan memodifikasinya. Alih-alih menggunakan fiberglass, 3M menggunakan kembali teknologi yang telah dikembangkan untuk membuat pita hadiah yang lebih kaku menjadi filter yang tepat.

Dengan filter tersebut, setiap partikel, baik silika atau virus yang terbang ke labirin masker akan tersendat-sendat. 3M juga menambahkan muatan elektrostatik ke material, sehingga partikel yang lebih kecil pun tertarik ke serat. Sementara itu, karena ada banyak lubang besar, pengguna masih dapat bernafas dengan mudah.

Semakin lama pengguna menggunakan respirator N95, semakin efisien dalam menyaring partikel. Tetapi pernapasan menjadi lebih sulit dari waktu ke waktu karena lubang-lubang yang menganga di antara serat-serat itu tersumbat oleh partikel. Itulah sebabnya respirator N95 tidak dapat dipakai selama lebih dari sekitar delapan jam pada suatu waktu di lingkungan yang sangat berdebu. Masker ini tak hanya berhenti menyaring; namun juga mencegah penggunanya bernapas dengan nyaman.

Masker N95 sejak awal digunakan untuk aplikasi industri. Seiring waktu, kebutuhan respirator untuk tenaga medis meningkat seiring munculnya TB yang resisten terhadap obat (TB MDR). Banyak tenaga medis yang rawan terjangkiti TB MDR saat merawat pasiennya. Meski begitu, respirator jarang digunakan di rumah sakit sampai hari ini karena hanya wabah seperti COVID-19 yang membutuhkan perlindungan begitu banyak.

Adapun inisial 'N95' berarti bahwa ketika dilakukan pengujian yang cermat, respirator memblokir setidaknya 95 persen partikel uji yang sangat kecil (0,3 mikron). Jika dipasang dengan benar, kemampuan filtrasi respirator N95 melebihi kemampuan masker wajah. Namun, sekalipun sudah dipasang dengan benar, masker N95 tidak sepenuhnya menghilangkan risiko penyakit atau kematian.

Referensi:
Mark Wilson, The Untold Origin Story of The N95 Mask

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun