Istriku awalnya ngotot, tidak ingin menjual masker hasil jahitannya. Tapi, mengingat banyaknya permintaan, istriku pun menyerah. Dia mulai menerima pesanan masker dari orang lain, tapi dengan syarat: harganya murah, dan kalau mau dijual lagi, juga harus murah!
Karena semua ditangani sendiri (dari mencari bahan, memotong kain hingga menjahitnya), produksi maskernya juga tidak secepat usaha konveksi lain yang sekarang juga banyak memproduksi masker. Paling banyak dalam sehari istriku hanya bisa membuat 25 masker. Itu pun katanya sudah sangat melelahkan.
Karena itu, saat ada permintaan untuk menjadi relawan penjahit atau diminta sebuah usaha konveksi besar untuk jadi penjahit lepas, istriku menolaknya.
Begitu pula ketika Jaringan Perempuan Pekerja Rumahan (JPPR) meminta istriku untuk membantu menjahit baju Alat Pelindung Diri (APD), isriku juga menolaknya.
"Bukannya aku gak punya jiwa sosial, gak mau membantu pemerintah untuk membuat masker lalu disumbangkan. Tapi dengan begini saja aku sudah kerepotan, belum lagi pesanan baju yang terpaksa harus ditunda demi membuat masker. Kalau ada yang mau jadi relawan penjahit, silahkan pakai mesin jahit kita yang gak dipakai itu," jelas istriku saat kutanya alasannya.
Aku tidak bisa menyalahkan alasannya. Bagaimanapun juga, di saat pandemi covid-19 dan aturan social distancing diterapkan, faktor kesehatan menjadi pertimbangan utama mengapa istriku menolak jadi relawan penjahit dan memilih untuk mengerjakan sendiri pesanan maskernya.Â
Akan sangat riskan jika istriku meminta orang lain untuk bersama-sama menjahit di ruang kerjanya yang sempit.
Sama halnya dengan penjahit yang lain. Menurut istriku, semua temannya sesama penjahit sekarang mengerjakan pesanan sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Kecuali mereka yang tidak punya mesin jahit sendiri dan bekerja di industri konveksi besar.
Saat Industri Fesyen Dunia Bahu-membahu Memproduksi Alat Pelindung Diri
Pandemi corona benar-benar mengubah wajah dunia. Banyak industri terkena dampaknya, termasuk industri fashion.
Toko-toko ditutup sehingga rantai pasokan global mereka terganggu. Para pekerja, khususnya penjahitnya menganggur. Industri fashion benar-benar berada dalam masa kritis.
Tapi mereka tak berdiam diri saja. Sekarang, para desainer, label mewah dan konglomerat fesyen semuanya melangkah untuk membantu mengatasi kekurangan masker dan peralatan pelindung pribadi lainnya (APD) di beberapa negara yang paling terpukul oleh pandemi corona.Â
Industri fashion, yang biasanya berkompetisi membuat tren fashion kali ini seolah bersatu melawan corona.
Mereka tak lagi membuat baju-baju atau aksesoris busana. Semua lini produksi dikerahkan untuk memproduksi Alat Pelindung Diri.
Dikutip dari CNN, dua raksasa Eropa, H&M dan Inditex, sedang mempersiapkan operasi mereka yang cukup besar terhadap pasokan medis. Balenciaga dan Yves Saint Laurent bersiap untuk membuat masker. Gucci membuat dan menyumbangkan 1,1 juta masker dan 55.000 APD di Italia.
LVMH meningkatkan rantai pasokan globalnya untuk memperoleh 40 juta masker wajah dari Cina selama empat minggu ke depan. Sementara Prada telah memulai produksi 80.000 APD dan 110.000 masker atas permintaan pihak berwenang di Tuscany.
Di tempat lain, Fast Retailing, perusahaan induk raksasa pakaian global Jepang Uniqlo, telah meminta bantuan mitra manufakturnya di Cina untuk mendapatkan sekitar 10 juta masker pelindung.
Genderang perang terhadap corona tak hanya ditabuh industri fesyen saja. Industri garmen dan tekstil juga ikut bahu membahu menyediakan bantuan bagi para pejuang medis yang berada di garda terdepan.
Perusahaan tekstil Miroglio Group misalnya, yang memproduksi seluruh rantai pasokan fesyen dari sumber tekstil hingga membuat pakaian jadi, baru-baru ini memperlengkapi kembali operasinya di wilayah Piedmont, Italia.Â
Mereka lalu mengirimkan batch pertama dari 10.000 "kapas higienis" yang dapat dicuci dan masker elastane (masker berbahan polyurethane elastis) untuk memasok pekerja darurat, LSM dan jurnalis yang berjuang di garda terdepan di di Italia.
Desainer dan UMKM Konveksi Indonesia Turut "Berjuang" Melawan Corona
Menipisnya stok APD untuk tenaga medis juga terjadi di Indonesia. Saking langkanya, banyak tenaga medis di beberapa rumah sakit menggunakan jas hujan plastik untuk melindungi diri agar tidak sampai tertular pasiennya.
Kondisi ini menyebabkan pelaku industri fesyen tanah air juga turut mengubah rantai produksi mereka. Desainer Anne Avantie misalnya, mengubah konfeksi miliknya untuk memproduksi APD (alat pelindung diri) bagi tenaga medis yang membutuhkan saat menangani virus corona.
"Dengan segala Keterbatasan yang ada dan hanya dengan mesin manual kami berjuang untuk dapat memberikan sesuatu untuk bangsa ini," tulis Anne dalam keterangan unggahannya di Instagram seperti dikutip Kompas.com.
Lewat hal ini pula, Anne juga mengajak para penjahit lainnya agar mau dengan sukarela berkontribusi dalam turut serta membuat APD.
"Kalau saya bisa... Ayo penjahit-penjahit lain pasti bisa... Dan apalagi garmen-garmen anda pasti lebih bisa."
Seandainya mau, pandemi corona bisa menjadi berkah bagi para penjahit dan UMKM Konveksi. Di saat dunia mengalami kelangkaan masker dan alat pelindung diri lainnya, jasa mereka lah yang paling dibutuhkan.
Meski begitu, para penjahit seolah tahu diri. Mereka sadar, bahwa bekal keterampilan menjahit yang mereka kuasai bisa berperan besar dalam membantu tenaga medis yang berada di garda terdepan.
Mereka tak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalaupun mengambil untung, itu juga hanya untuk menutupi biaya produksi, terutama untuk membeli bahan bakunya. Sedangkan jasa dan keterampilan menjahitnya, mereka sumbangkan dengan sukarela.
Tanpa mengecilkan arti dan perjuangan tenaga medis, penjahit juga layak kita beri apresiasi. Mereka juga berjuang melawan corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H