Karena itulah muncul istilah penolakan, "tidak mau diduakan cintanya". Pinginnya, seorang istri itu memiliki cinta suami sepenuhnya, murni 100% kadar cintanya.
Bagaimana dengan yang pro poligami?
Sama saja, mereka juga melihat "keadilan" itu berdasarkan logika matematika. Bagi pria yang poligami, jika istri pertama diberi uang belanja 5 juta, istri kedua juga harus diberi uang belanja yang sama besarnya.
Jika istri pertama memperoleh jatah nafkah batin dua hari, maka istri kedua juga harus dikunjungi dua hari pula. Inilah makna "adil" versi logika matematika yang dianut banyak pria pro poligami.
"Adil" Dalam Poligami itu Berdasarkan Logika Cinta
Yang dimaksud "adil" dalam berpoligami itu tidak menganut logika matematika. Syarat berlaku adil bagi pria yang ingin berpoligami ini menganut logika cinta.
Seorang pria bisa saja berlaku adil secara fisik. Memberi nafkah lahir atau nafkah batin sama besarnya. Tapi bagaimana dengan cintanya? Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayangnya?
Nah, sekarang waktunya "keadilan" versi logika cinta yang berbicara.
Kadar sebuah cinta itu memang harus 100 persen, tapi ia tidak dapat dibagi habis. Misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan satu anak.Â
Jika menuruti logika matematika, cinta suami yang kadarnya 100 persen tentu akan habis dibagi dua: istri 50%, anak juga 50%. Sama seperti logika wanita yang "tidak mau dibagi dua cintanya" tadi.
Logika cinta tidak seperti itu. Sang suami mencintai istrinya 100 persen, demikian pula rasa cintanya pada sang anak, sama 100 persen. Seandainya ada orang tuanya yang tinggal bersama, kadar cinta suami pada ayah atau ibunya juga harus 100 persen.
Jadi, kalau dalam satu keluarga ada suami, istri, satu anak dan dua orang tua, masing-masing memperoleh kadar cinta yang sama besarnya 100 persen. Bukan 100 habis dibagi 4. Untuk istri, anak dan kedua orang tua masing-masing kebagian seperempat rasa cintanya suami.