Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Pria yang Menghamili, Mengapa Wanita yang Harus Kontrasepsi?

30 Januari 2020   23:16 Diperbarui: 30 Januari 2020   23:27 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi alat kontrasepsi (unsplash.com/Reproductive Health Supplies Coalition)

"Selamat ya Ning, lama gak ketemu tahu-tahu sudah melahirkan anak yang keempat. Sengaja atau keceplosan nih?" kata saya memberi ucapan selamat sekaligus bercanda pada teman kuliah yang lama tak berjumpa.

"Tau nih bapaknya anak-anak. Disuruh pake kondom gak mau, katanya pake kalender aja," jawab Nining sambil melirik sang suami yang ada di sebelahnya.

"Kalo pake 'sarung' nanti gak kerasa, ya kan Mam, hehehe. Mama juga sih, gak mau dipasangi spiral. Katanya takut ada apa-apa di dalam. Diminta minum pil katanya takut gemuk. Ya sudah, pake kalender aja. Eh, malah keceplosan sampai dapat empat," kata sang suami menimpali.

Sepotong percakapan tersebut membawa kita pada satu bahasan yang menarik: kontrasepsi. Dari percakapan itu pula kita mendapat petunjuk, bahwa ada banyak pilihan kontrasepsi bagi wanita, sementara sedikit sekali jenis kontrasepsi untuk pria.

Dari mana datangnya ide kontrasepsi ini?

Mari kita mengulang sedikit sejarah.

Ketika Thomas Robert Malthus menerbitkan tulisan pendeknya yang terkenal pada 1798,  An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvemen of Society, masyarakat ilmiah menjadi gempar. Mereka seperti ditampar hingga menjadi sadar akan kebenaran dari tulisan pendek tersebut.

Tesis dasar Malthus adalah bahwa pertumbuhan populasi cenderung melampaui pertumbuhan persediaan makanan. Populasi manusia bertambah secara geometris atau berupa deret eksponensial (seperti deretan angka 1,2,4,8,16....). Sedangkan persediaan makanan cenderung hanya bertambah secara aritmetis atau berupa deret linier (seperti deretan angka 1,2,3,4,5,6...).

Singkatnya, menurut Malthus, "Kekuatan populasi lebih besar daripada kekuatan bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia." Kesimpulan yang sangat pesimis!

Apakah pertumbuhan populasi tidak bisa dihambat?

Bisa. Perang, wabah atau bencana alam bisa mengurangi populasi manusia. Tapi, itu sifatnya hanya sementara dan lagipula caranya sangat tidak mengenakkan. Dengan latar belakangnya sebagai pendeta, Malthus kemudian menyarankan apa yang ia sebut sebagai "batasan moral". Bahwa setiap individu harus menjaga kesucian pranikah, dan secara sukarela membatasi hubungan seks dalam perkawinan.

Ide pembatasan populasi manusia yang dicetuskan Malthus ini kemudian menjadi konsekuensi munculnya ide kontrasepsi. Orang pertama yang secara terbuka menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk membatasi populasi manusia adalah reformis Inggris, Francis Place. Pada 1822, Place menulis buku yang menyarankan kontrasepsi. Sementara di Amerika Serikat, dr. Charles Knowlton pada 1832 juga menerbitkan buku mengenai kontrasepsi.

Gabungan ide Malthus, saran dari Francis Pale dan Charles Knowlton inilah yang kemudian membuat para peneliti berusaha untuk menemukan alat kontrasepsi dan membentuk konsep Keluarga Berencana.

Anehnya, dalam perkembangan penelitian mengenai alat kontrasepsi, kaum wanita yang memiliki banyak pilihan kontrasepsi. Mulai dari IUD, Diafragma, pil kontrasepsi oral. Sedangkan pria hingga saat ini hanya memiliki sat pilihan: kondom! Dengan catatan tubektomi atau vasektomi tidak terhitung karena termasuk kontrasepsi permanen.

Sementara dari sisi moral, pria semestinya menanggung lebih banyak tanggung jawab kehamilan. Hanya pria yang bisa menghamili wanita, bukankah begitu?

Lalu, jika pria yang menghamili, mengapa wanita yang harus kontrasepsi? Adil atau tidak pertanyaan ini, faktanya tanggung jawab dan resiko atas kontrasepsi itu memang lebih banyak berada di tangan wanita.

Dengan banyaknya pilihan kontrasepsi, banyak pula risiko yang harus ditanggung wanita. Pil, misalnya, dapat menyebabkan masalah ketidaksuburan dan terkait dengan depresi dan perubahan suasana hati. IUD telah menyebabkan uterus berlubang dan keracunan tembaga. Diafragma dapat menyebabkan iritasi genital dan terbakar saat buang air kecil.

Sementara pria risikonya cuma satu: kondom membuat hubungan seks mereka kurang menyenangkan. Di satu sisi, pilihan kontrasepsi yang ada pada pria ini lebih murah daripada pil atau IUD atau diafragma. Plus pilihan ini datang dalam berbagai rasa dan tekstur.

Dengan risiko yang sangat remeh, namun lebih murah dan punya banyak variasi tekstur dan rasa, anehnya banyak pria yang enggan memakainya. Mereka lebih mengandalkan kalender dan membebankan tanggung jawab kehamilan itu pada wanita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun