Kemungkinan besar jalan ceritanya seperti ini: Si wartawan bertemu dengan Hasanuddin AF secara tidak sengaja. Wartawan ini kemudian ujug-ujug bertanya tentang pemblokiran Netflix oleh Telkom Grup. Dua hal yang bertolak belakang, sekaligus bisa memancing kontroversi akhirnya dibenturkan. MUI dengan Netflix.
Seandainya mau lebih teliti, wartawan jangan hanya mengaitkannya dengan pemblokiran Netflix oleh Telkom Grup. Melainkan dengan pernyataan Yuliandre Darwis, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menyoroti banyaknya konten negatif di platform digital seperti Netflix. Â
Berita tentang sorotan KPI terhadap Netflix ini tayang terlebih dahulu di detikInet pada 22 Januari pukul 13.39, beberapa jam sebelum Bisnis.com menurunkan berita tentang fatwa haram MUI untuk Netflix.
Meminta pendapat tokoh MUI tentang konten negatif masih terlihat wajar dibandingkan meminta komentar MUI tentang platform digital. Dengan latar belakang yang nyambung, barulah si wartawan bisa mengaitkannya dengan pemblokiran Netflix oleh Telkom Grup, dan kalau perlu bisa ditambahi pendapat MUI seandainya Netflix difatwakan haram karena konten negatifnya.
Terhadap isu-isu yang sensitif seperti "fatwa haram", pers harusnya lebih hati-hati dan lebih jeli menangkap setiap pernyataan pejabat, tokoh atau organisasi yang terkait. Pers memang bisa mengklarifikasi berita dengan menyunting atau menayangkan artikel klarifikasi. Namun, mereka tidak bisa menarik kembali informasi keliru yang sudah terlanjur terbentuk akibat berita yang mereka terbitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H