Pukul 10.30, kudengar bunyi layar monitor berdengung datar, tidak bergelombang seperti biasanya. Satu detik kemudian, kudengar pula jerit tertahan adikku lalu disertai tangis sesenggukan.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Ibu akhirnya pulang, kembali ke hadapan Sang Khaliq.
Beberapa saat kemudian, dokter spesialis hematologi yang merawat Ibu datang ke ruang HCU. Setelah keluar, dokter menemuiku dan meminta maaf tidak kuasa menyelamatkan nyawa Ibu.
Meski sedih, aku mencoba tersenyum dan menyatakan rasa terima kasih sudah berusaha semampunya untuk merawat dan mengobati sindrom mielodisplasia yang diderita Ibu. Â
Ketika kutanya penyakit yang diderita Ibu, dokter membenarkan diagnosis awal bahwa Ibu memang menderita Sindrom Mielodisplasia. Sumsum tulangnya tidak mampu lagi memproduksi sel darah yang segar dan normal.
Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, tapi nyawa manusia berada di tangan Sang Pencipta. Selamat jalan Ibu, semoga khusnul khotimah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H