Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Koruptor Diberi Grasi, Anak STM Dibui, dan Kita Tidak Boleh Berisik?

27 November 2019   22:45 Diperbarui: 27 November 2019   22:49 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lutfi Alfiandi memegang bendera Merah Putih saat demonstrasi di Senayan (sumber foto: Kompas.com/Garry Lotulung)

Pemberian grasi kepada narapidana memang hak prerogratif presiden. Hak yang sangat istimewa ini sudah diatur oleh UUD 1945 pasal 14 yang kemudian diperjelas aturan pemberiannya melalui Undang-undang nomor 22 tahun 2002.

Dalam pasal 1 ayat (1), pengertian grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Lebih lanjut dijelaskan pula pada pasal 2 ayat (2) dan (3) bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal:

  • terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
  • terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Karena ini hak istimewa, lingkup kejahatan atau tindak kriminal dari narapidana pun tidak dibatasi, selama ia memenuhi syarat pemberian dan belum pernah ditolak permohonannya.

Meskipun presiden memiliki hak prerogratif ini, tapi presiden tidak boleh sembarangan memberikannya atau mengabulkan permohonan grasi narapidana. Undang-undang mengatur bahwa dalam memberikan grasi, presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Seperti apa pertimbangannya?

Inilah yang kerap menjadi perdebatan. Karena tidak ada peraturan tentang jenis atau ukuran pertimbangannya, hal ini pun menjadi sangat subyektif.

Pertimbangan Kemanusiaan dalam Pemberian Grasi pada Annas Maamun dan Neil Bantleman

Seperti yang terjadi dalam pemberian grasi kepada Annas Maamun, mantan gubernur Riau yang dihukum penjara selama 7 tahun karena kasus korupsi. Dalam surat permohonannya, Annas merasa dirinya sudah uzur, sakit-sakitan, renta, dan kondisi kesehatannya mulai menurun.

Berbekal keterangan dokter, Annas mengaku menderita penyakit PPOK (COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak napas.

Atas pertimbangan kemanusiaan, presiden Jokowi kemudian memberikan grasi berupa pengurangan jumlah pidana selama 1 tahun. " Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 (tujuh) tahun menjadi pidana penjara selama 6 (enam) tahun," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto, Selasa (26/11/2019). 

Ini bukan pertama kalinya presiden memberi grasi dengan alasan kemanusiaan. Sebelum Annas, presiden Jokowi juga pernah memberikan grasi kepada Neil Bantleman, yang menjadi terpidana kasus kekerasan seksual pada anak-anak.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 13/G Tahun 2019 tanggal 19 Juni 2019, mantan guru di Jakarta International School ini mendapatkan grasi yang diberikan Jokowi atas dasar kemanusiaan.

Anak STM yang Dibui

Jika atas dasar kemanusiaan terpidana korupsi diberi grasi, mengapa tidak ada "kemanusiaan" pada sosok Lutfi Alfiandi, anak STM yang harus mendekam di bui?

Masih ingat kan dengan Lutfi Alfiandi? Foto dirinya yang tengah memegang bendera merah putih diantara kepungan asap gas air mata menjadi viral. Lutfi adalah salah satu demonstran yang terlibat dalam aksi pelajar STM di depan kompleks parlemen pada September lalu. Polisi kala itu mengamankan 519 orang demonstran, termasuk satu diantaranya adalah Lutfi Alfiandi.

Paska aksi demonstrasi anak STM yang berujung kerusuhan itu, Lutfi pun ditahan dan dijerat dengan pasal berlapis, yakni pasal 170, 212, 214 dan, 218 KUHP. Menurut kuasa hukum Lutfi dari LBH Kobar, Sutra Dewi, kliennya mengatakan sama sekali tidak melakukan aksi perusakan.

Meski begitu, ia menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan hakim terkait dakwaan yang disangkakan kepada Lutfi.

"Kami berharap sih bebas ya. Karena kan namanya, itu euforia dan bukan kriminal. Ya tergantung putusan di pengadilan saja nanti hakim menilainya bagaimana," lanjut dia.

Koruptor Diberi Grasi dan Kita Tidak Boleh Berisik?

Dengan pertimbangan "kemanusiaan", tim kuasa hukum sempat pula mengajukan penangguhan penahanan saat Lutfi masih ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat. Tapi permohonan itu tak mendapat jawaban dari kepolisian.

Rasa "kemanusiaan" seringkali bisa mengalahkan rasa keadilan. Masalahnya, indikator "kemanusiaan" sendiri tidak dapat diukur secara jelas. Karena itulah rasa "kemanusiaan" kerap diselewengkan dan dalam praktik penggunaannya sepenuhnya berada di tangan pihak yang berkuasa.

Pertimbangan kemanusiaan sepertinya menjadi alasan yang paling tidak bisa dibantah oleh publik. Mungkin karena itulah presiden melalui hak prerogratifnya dengan mudahnya memberikan grasi atas dasar "pertimbangan kemanusiaan".

Tapi, mengapa alasan ini hanya bisa digunakan untuk memberi keringanan pada terpidana saja? Mengapa "pertimbangan kemanusiaan" tidak bisa digunakan untuk menegakkan keadilan.

Apakah karena rasa "kemanusiaan itu pula kita tidak boleh berisik dan mempertanyakan, dimana letak keadilan itu berada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun