Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Mas Nadiem Bermaksud Menghilangkan Pendidikan Karakter?

25 November 2019   23:36 Diperbarui: 25 November 2019   23:55 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim (sumber foto: dokumentasi Biro Komunikasi dan Layanan MasyarakatKementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI)

Dalam pidatonya saat memperingati Hari Guru Nasional 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menekankan dua hal pokok, yaitu kemerdekaan dalam belajar dan reformasi pendidikan yang dimulai dari pergerakan para guru.

Menurut Mas Nadiem, panggilan akrab Mendikbud yang baru ini, kemerdekaan dalam belajar yang ia maksud adalah kebebasan berinovasi yang dimulai dari unit terkecil pendidikan.

"Unit pendidikan, yaitu sekolah, kemudian guru, dan muridnya memiliki kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri, dan kreatif," ujar Mendikbud.

Sedangkan guru penggerak adalah guru yang mengutamakan muridnya. Seorang guru penggerak akan mengambil tindakan tanpa disuruh atau diperintah untuk mengembangkan muridnya. "Filsafatnya sama, semua yang terbaik untuk anak," ujar Mendikbud.

Pidato Nadiem dianggap banyak pihak membawa angin segar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Nadiem, anak muda yang sukses dalam inovasi di dunia digital dinilai akan mampu mengejawantahkan pendidikan Indonesia bergerak maju searah dengan perkembangan dunia yang semakin digital.

Akankah Kemerdekaan dalam Belajar Menghilangkan Pendidikan Karakter?

Namun, saya merasa khawatir akan ekses dari "Kemerdekaan dalam Belajar" yang dimaksudkan Mas Nadiem. Yakni hilangnya pendidikan karakter yang sudah lebih dari 5 tahun ini menjadi kurikulum wajib pendidikan nasional.

Sejak dilantik menjadi Mendikbud, Mas Nadiem memang belum menunjukkan tanda-tanda akan mengubah kurikulum pendidikan. Namun, pidatonya di peringatan Hari Guru Nasional seolah menjadi pertanda, akankah di masa jabatannya ini Mas Nadiem hendak menghilangkan Pendidikan Karakter?

Pendidikan Karakter pertama kali mengemuka sebagai tema yang diusung Kementrian Pendidikan Nasional dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2010, yakni "Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa".

Sejak itu, banyak ahli pendidikan, pengamat dan praktisi pendidikan mencoba untuk menerjemahkan seperti apa bentuk Pendidikan Karakter yang tepat untuk diaplikasikan bagi anak didik sekolah. Puncaknya, Pendidikan Karakter akhirnya resmi dijadikan basis kurikulum pendidikan dasar-menengah tahun 2013.

Namun dalam perjalanan waktu penerapannya, masih banyak institusi pendidikan yang tidak sepenuhnya paham bagaimana mengejawantahkan pendidikan karakter dalam praktik pendidikan mereka.

Pendidikan kita masih terjebak dalam pola pendidikan yang menurut Winarno Surachmad dkk (2003) tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah.

Akan halnya dengan Mas Nadiem yang berjanji akan memberikan kemerdekaan dalam belajar di setiap unit pendidikan. Janji ini sepertinya bisa mendobrak dan meruntuhkan dogma pendidikan lama yang lebih menekankan latihan-latihan skolastik dibandingkan kreativitas siswa.

Yang jadi pertanyaan adalah: sejauh mana kemerdekaan dalam belajar itu? Apakah Mas Nadiem tidak membuat batasan sehingga setiap pendidik bebas berkreasi dalam pola mengajarnya?

Saya berharap tidak seperti itu. Saya ingin agar Mas Nadiem bisa menyejajarkan konsep kemerdekaan dalam belajar ini dengan konsep pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12).

Sampai di sini, kita bisa melihat ada kemiripan antara konsep "kemerdekaan dalam belajar" yang ditawarkan Mas Nadiem dengan pola pendidikan yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara: bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak yang terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik.

Jika diartikan lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara menghendaki agar anak hendaklah tumbuh dan berkembang menurut kodratnya sendiri. Praktis sama dengan apa yang dikatakan Mas Nadiem dalam pidatonya, ""Filsafatnya sama, semua yang terbaik untuk anak."

Meneladani Sistem Among dalam Pendidikan Karakter Anak

Hanya saja, Ki Hajar Dewantara memberi batasan dalam "kemerdekaan belajar" itu dengan menggunakan "Sistem Among" sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam "Sistem Among" ini, Ki Hajar Dewantara memandang peranan besar dari Tripusat Pendidikan. Yaitu;

  1. Pendidikan di lingkungan keluarga.
  2. Pendidikan di lingkungan perguruan/sekolah.
  3. Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan.

Kemudian, masing-masing pusat pendidikan ini dalam proses pendidikannya diwajibkan bersikap:

  • Ing ngarsa sung tuladha (pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai "central figure" bagi siswa).
  • Ing madya mangun karsa (pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal).
  • Tutwuri handayani (pendidik mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan tanggung jawab dalam memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya. (MLPTS, 1992).

Seperti inilah bentuk Pendidikan Karakter yang sebenarnya, sebagaimana yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara dalam upayanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sementara apa yang dijanjikan Mas Nadiem masih dalam tahap perencanaan, saya berharap agar Mas Nadiem tidak meninggalkan begitu saja Pendidikan Karakter yang sudah kita rintis pengejawantahannya. Meskipun harus diakui, masih banyak institusi yang bingung dengan penerapannya dalam lingkup proses belajar mengajar.

Mas Nadiem mungkin berharap agar para siswa, anak-anak kita bisa lebih kreatif dan inovatif sehingga dengan beraninya menjanjikan kemerdekaan dalam belajar. 

Namun seyogyanya Mas Nadiem juga menyadari, bahwa kreativitas dan inovasi itu tidak akan berarti banyak jika masing-masing individu tidak memiliki karakter yang mencerminkan peradaban bangsanya. Lebih dari sekedar kreatif dan inovatif, yang diperlukan generasi digital saat ini adalah sebuah keteladanan dan contoh moral.

Jika para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, kita semua tentu akan terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.

Referensi:

  1. Ki Suratman. Pokok-pokok Ketamansiswaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1987.
  2. MLPTS. Peraturan Besar dan Piagam Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta: MLPTS. 1992.
  3. Winarno Surakhmad, dkk. (2003). Mengurai Benang Kusut Pendidikan. Jakarta: Transformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun