Setelah berbincang seru dengan bu Leya dan mas Fery, dari jauh aku melihat sosok pria yang entah mengapa aku yakin beliau adalah pak Eddy Suprijatna. Aku pun beringsut mendekat, dan kuberanikan diri menyapa, "Selamat malam, Pak Eddy Suprijatna? Saya Himam."
Wajah beliau langsung tersenyum lebar, lalu menjabat erat tanganku.
"Masyaallah, ini pak Himam ya? Wah, apa kabar 'sufi' kita nih."
Terus terang, aku tak tahu mengapa pak Eddy menyebutku dengan 'sufi'. Memangnya aku punya potongan seperti Jalaludin Rumi?
"Apanya yang 'sufi'? Pak Eddy bisa aja bercandanya," tanyaku mencoba mencari tahu.
Namun, belum sempat aku mendapat jawaban yang jelas, obrolanku dengan pak Eddy diserobot orang.
"Aduh, aku lupa belum sungkem dengan pak Eddy. Apa kabar pak Eddy....".
Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara ini. Leya datang bersama mas Fery W. Aku mengalah dan memberi kesempatan pada kedua pendatang baru ini untuk ngobrol dengan pak Eddy, aku lalu memutar pandangaku ke sudut lain.
Pria muda berkaos hitam dengan tulisan Rinjani itu tengah menatapku. Aku pun balas menatapnya. Lalu kami berdua tersenyum dan saling mendekat.
"Mas Ryo Kusumo?" kataku mengawali perkenalan.
"Ini pasti mas Himam," balasnya sambil menjabat erat tanganku.