Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengalaman Menyaksikan Langsung Anak Sendiri Dibedah di Meja Operasi

15 November 2019   22:33 Diperbarui: 14 April 2021   16:19 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Izan ketika mendapat perawatan di rumah sakit (dokpri)

Waktu operasi pun tiba. Saya menggendong Izan ke ruang pembedahan. Sepanjang jalan dari kamar opname-nya, Izan terus menangis. Ketika hendak disuntik bius, dia meronta dengan sangat kuatnya hingga 3 jarum suntik bengkok dan tidak berhasil menyuntikkan obat bius. Akhirnya, dokter menyiapkan tabung bius.

Dalam hati, saya meratapi mengapa tidak dari awal dibius dengan gas saja? Mengapa harus "menyiksa" anak saya sampai 3 jarum suntik menjadi bengkok karena membentur tulang mungil tangannya?

Hati saya semakin tersayat sewaktu menyaksikan detik-detik anak saya terbius dengan gas. Sambil menangis, Izan terus memanggil "Bapak, bapak, bapak...", kemudian perlahan suaranya menghilang seiring tubuhnya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sampai sekarang, saya sering menitikkan air mata jika momen ini melintas di kepala.

Setelah itu, saya diminta berganti pakaian operasi yang serba hijau itu, lengkap dengan penutup kepala dan masker. Karena merasa tidak kuat, saya mengatakan pada tim dokter kalau saya tidak ingin menyaksikan pembedahan tersebut.

Dokter Bambang yang mengepalai operasi setuju. Saya diminta menunggu selama pembedahan, namun nanti harus siap (dan kuat) untuk melihat langsung kondisi tubuh anak saya yang dibedah itu.

Sambil menunggu, saya terus memanjatkan doa supaya operasinya berjalan lancar dan anak saya tidak kekurangan suatu apapun juga. Waktu rasanya berjalan lambat. Beberapa kali saya mencoba untuk menengok lewat jendela kaca bagaimana jalannya operasi tersebut, namun terhalang oleh tubuh-tubuh berpakaian hijau yang sedang membungkuk ke tubuh anak saya.

Satu setengah jam kemudian, saya dipanggil dan diminta mendekat ke meja operasi. Saya lihat di meja tersebut tubuh anak saya tergeletak. Wajahnya terlihat damai.

Dokter Bambang lalu membimbing saya untuk melihat dari dekat bagian selangkangan anak saya yang dibedah. Sambil "mengorek-korek", dr. Bambang menjelaskan bahwa tim dokter sudah berusaha mencari testis yang satu, tapi tidak terlihat. Kesimpulannya, testis anak saya menghilang! Izan ditakdirkan hanya punya satu testis.

"Apakah nanti Izan masih ada harapan punya keturunan dokter?" tanya saya khawatir.

"Bapak tidak usah khawatir. Pria yang hanya punya satu testis masih bisa punya keturunan. Selama satu testis yang dimiliki dalam keadaan baik, maka kualitas sperma yang dihasilkan tetaplah baik," jelas dr. Bambang.

Operasi hari itu pun berjalan lancar. Berkat bantuan keringanan biaya dari rumah sakit, saya bisa melunasi biaya operasi, sekalipun akhirnya benar asuransi dari kantor saya tidak menanggungnya.

Sehat Itu Aset yang Paling Berharga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun