"Bukan saatnya tumbang, aku bukan layangan putus yang tak tentu arah. PR ku masih banyak, keempat anak ini punya masa depan yang indah. Aku percayakan semua pada penopangku Allah sang Maha Baik.
Jauh dilubuk hati, doaku untuk mantan suami. Aku tidak mampu lagi menunaikan kewajiban sebagai seorang isteri untuknya. Dia resmi bukan milikku sekarang, kulepaskan segala memori perjuangan cinta kami yang dulu."
***
Bukan, itu memang bukan tulisanmu. Dan sudah tentu aku berharap kamu tak akan pernah menulis curahan hati seperti itu.
Membaca kisah layangan putus, aku cuma ingin mengingatkanmu perihal cinta kita berdua.
Aku selalu percaya, cinta adalah reaksi kimia. Gabungan feromon, endorfin dan serotonin. Setelah beberapa tahun, zat-zat tersebut akan hilang dari pasangan.
Iya, cinta memang bisa menghilang, seperti yang diceritakan penulis layangan putus tersebut. Mungkin kamu bertanya, "Lalu, mengapa kakek dan nenek kita bisa bertahan hidup berdua?"
Ketahuilah, kakek dan nenek kita bisa bertahan hidup berdua karena mereka memiliki  sesuatu yang disebut kasih sayang, keterbiasaan, empati dan tentu saja komunikasi.
Aku memilihmu sebagai teman hidup bukan karena wajahmu, hartamu, apalagi sekedar gelarmu. Tapi aku melihatmu sebagai orang yang mau duduk bersamaku sampai rambut memutih dan raga tak mampu lagi berbuat banyak.
Aku juga percaya, cinta bukan tentang kisah dua orang yang telah lelah mencari. Namun cinta adalah kisah dua orang yang saling menemukan dalam doa.