Akibatnya, nilai mata uang NICA merosot karena tidak laku dan terjadilah kenaikan harga barang dan inflasi. Daya beli masyarakat kota turun, sementara hasil produksi dari desa-desa akhirnya tidak bisa diserap dan hanya bisa dijual di wilayah pedesaan.
Proses Lahirnya Oeang Republik Indonesia
Melihat kondisi yang menyengsarakan rakyat Indonesia tersebut, sejak bulan Oktober 1945 pemerintah Indonesia yang baru lahir berencana membuat mata uang sendiri, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Â
Namun, bukan perkara yang mudah untuk bisa mencetak dan mengedarkan mata uang milik bangsa.
Berbagai macam kendala sudah menghadang sejak masa perencanaan ORI. Mulai dari stok kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi, pelat seng untuk klise, hingga mesin aduk untuk membuat tinta.Â
Akhirnya, setelah mendapat bantuan secara sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum sempat dikuasai Sekutu, bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan berhasil dikumpulkan.
Pada masa Menteri Keuangan keempat Surachman Tjokroadisuryo, ORI mulai dicetak di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta,. Proses produksi ORI dimulai pada Januari 1946.Â
Percetakan bekerja keras setiap hari, sejak pukul tujuh pagi sampai pukul sepuluh malam. Karena kondisi yang semakin tidak memungkinkan, proses pencetakan ORI di Jakarta dihentikan.Â
Untuk sementara, ORI kemudian dicetak di daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.
ORI diinisiasi oleh Menteri Keuangan kedua yaitu A.A. Maramis dengan membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Oeang RI (PPPO-RI) yang diketuai T.B.R. Sabarudin. Kala itu Sabarudin menjabat sebagai Direktur Bank Rakyat Indonesia.
Namun, ORI baru selesai dicetak dan diedarkan saat periode Menteri Keuangan kelima, Sjafruddin Prawiranegara. Pada saat itu, ORI emisi 1 terbit dalam delapan seri uang kertas yaitu satu sen, lima sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dan seratus rupiah.