Baru sehari Kabinet Indonesia Maju dilantik, gelombang protes dan kekecewaan mewarnai jagad maya. Linimasa media sosial berubah, tak lagi jadi medan perang perbantahan. Seolah kompak, dua kubu yang dulunya berseberangan kini sama-sama mengungkapkan kekecewaan.
Mereka merasa dikhianati, tidak dihargai, dilupakan, tidak diperhatikan, tidak diperhitungkan, dan berbagai ungkapan rasa kecewa lainnya. Meski begitu, prosentasenya masih kalah dengan yang "menjilat agar terlihat." Karena bagi mereka, perubahan struktur kabinet berarti mendatangkan angin segar untuk bisa mendapatkan proyek tertentu.
Beberapa posisi menteri digugat dengan beragam alasan. Entah dianggap bukan kapasitasnya, atau karena tidak kebagian jatah.
PBNU protes karena menganggap mereka sudah "berdarah-darah" mendukung Jokowi, tapi tidak ada kader NU yang menjadi menteri. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri PDT Abdul Halim Iskandar hanya dianggap representasi seorang Muhaimin Iskandar (baca: PKB), bukan NU tulen. Sementara Menkopolhukam Mahfud MD sudah lama menjadi "orang luar NU". Oleh kalangan struktural, Mahfud MD dianggap "tidak cukup NU" dan "tidak memiliki komitmen terhadap NU."
Protes NU kian keras ketika Jokowi menunjuk Fachrul Razi, seorang mantan jenderal sebagai Menteri Agama. Tagar #TolakMenag menjadi trending topic di jagad maya sebagai bentuk protes atas penunjukan tersebut. Sampai di kalangan netizen NU beredar meme "dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama."
Tak hanya jamaah NU yang bereaksi negatif atas susunan kabinet pemerintahan Jokowi kali ini. Para pengidola Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga merasa patah hati. Apalagi ketika tahu jabatan tersebut harus "ditukar guling" dengan Edhy Prabowo, kader Partai Gerindra yang dalam kontestasi pilpres kemarin menjadi pihak oposisi.
Pengidola Susi Pudjiastuti merasa tidak sepatutnya menteri idola mereka diganti. Mengingat begitu banyak kapal-kapal berbendera asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia sudah berhasil ditenggelamkan, sesuatu yang belum pernah dilakukan menteri-menteri bidan kelautan dan perikanan.
Pendukung Prabowo, yang menjadi lawan Jokowi di kontestasi pilpres 2019 lalu juga ikut bersuara. Mereka menganggap keputusan Prabowo yang bersedia menerima jabatan sebagai Menteri Pertahanan adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan pendukungnya. Dua posisi menteri yang menjadi "hak milik" Gerindra mencerminkan sikap Prabowo yang haus kekuasaan.
Ramainya komentar bernada kekecewaan dan juga hujatan terhadap susunan kabinet Jokowi jilid 2 ini memperlihatkan pada kita bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia tidak siap dalam berpolitik. Kita selalu menempatkan politik dengan perasaan, bukan logika.
Para menteri itu belum bekerja, tapi kita sudah menaruh prasangka. Ada yang menuduh Prabowo bakal jadi duri dalam daging. Ada yang menganggap Fachrul Razi "tidak baik agamanya." Tak kurang pula netizen yang meramal masa depan pendidikan kita akan dikomersialkan, mengingat Menteri Pendidikannya seorang CEO startup unicorn.
Rasa khawatir boleh saja, tapi jangan lantas terbawa menjadi perasaan benci dan cinta yang terlalu berlebihan. Kekhawatiran itu bisa kita suarakan nanti dalam bentuk kritik yang membangun, seiring dengan kinerja orang yang bersangkutan dalam menjalankan wewenangnya sebagai menteri. Bukan dengan menaruhnya di depan, sementara program kerja kementeriannya saja belum diumumkan secara resmi.
Kebijakan bernegara semestinya kita titipkan pada siapapun, melalui kerja tangan dan buah pikiran, bukan dari perasaan hati. Kita boleh mengidolakan seseorang, tapi sukailah orang itu berdasarkan kinerjanya, bukan pada sosok pribadinya. Kita boleh membenci seorang politikus, tapi bencilah dia karena kebijakannya yang tidak memihak rakyat.
Kalau kita membenci atau malah mencintai karena faktor pribadi, itu artinya kita gagal dalam berpolitik. Mengajak hati di urusan politik adalah kesalahan besar. Karena politik itu dinamis, bukan romantis. Menteri itu jabatan politik, bukan jabatan untuk menghibur hati yang luka dan kecewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H