Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fenomena Buzzer, Antara Jumlah Follower dan Kemampuan Mengolah Pesan

5 Oktober 2019   08:49 Diperbarui: 5 Oktober 2019   10:01 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rejeki pantang ditolak kata mereka. Kategori lifestyle iya, kategori beauty iya, topik teknologi bisa, kesehatan tak masalah. Pokoknya tanggung beres, dari A-Z, fleksibel saja.

Di salah satu grup WA, seorang teman memposting lowongan untuk buzzer, dengan syarat profil kesehariannya atau aktivitas postingan media sosialnya sebagian besar seputar kesehatan (Health Enthusiast). 

Ada pula sebuah brand minyak goreng yang meminta kehadiran buzzer di acara mereka, dengan syarat dia adalah Cooking Enthusiast. Sontak, beberapa buzzer (yang kadang merangkap blogger) di grup WA mengeluh, "Yah, gak bisa ikut dong".

Lho, justru seperti inilah seharusnya perusahaan/brand itu merekrut buzzer untuk kampanye produk/acara mereka. Bukan asal lihat jumlah followernya.

Perusahaan/brand yang cerdas memilih buzzer berdasarkan ketertarikan mereka. Sehingga saat memposting pesan, apa yang disampaikan tidak akan terlalu jauh dari kehidupan media sosialnya.

Bayangkan saja, linimasa seorang buzzer pada satu hari penuh dengan topik tentang keunggulan sebuah merek laptop. Tiba-tiba di hari berikutnya (kadang malah dalam hitungan jam) dia bicara masalah kesehatan. Kira-kira nyambung gak? Audiens bisa menangkap pesan dari si buzzer gak?

Jarang sekali ada perusahaan atau brand yang melihat secara personal bahwa buzzer x begitu ahli di bidang x,y,z. Berbeda dengan blogger yang mungkin bisa menjadi generalis, bisa menulis artikel tema apapun juga. Seorang buzzer (juga influencer) dituntut untuk specialist. 

Dengan begitu, mereka bisa membangun percakapan dan membuat produk/kampanye dari perusahaan/brand bisa jadi bahan pembicaraan dan terdistribusi secara viral.

Efektivitas buzzer dilihat dari kemampuannya membangun percakapan di dunia maya dan memiliki impact di dunia nyata. Banyaknya jumlah follower akan menjadi percuma jika buzzer tidak bisa membuat topik yang diinginkan dibicarakan banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun