Konsep pendidikan kejuruan di Indonesia pada jaman Hindia Belanda lahir sebagai buah dari gagasan yang dicetuskan Mr. C. Th. van Deventer.Â
Dalam tulisan yang berjudul  "Een Eereschuld" (Hutang Kehormatan) dan dimuat di majalah "De Gids" (nomor 63) pada 1899, van Deventer mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kcmanusiaan, khususnya di Hindia Belanda.
Menurut van Deventer, pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Jalur pertama adalah pendidikan bagi lapisan atas serta memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi, dengan tenaga terdidik bermutu tinggi.
Di lain pihak, pemerintah Belanda juga harus menyediakan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.
Tulisan inilah yang kemudian memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politick) yang dicanangkan oleh Ratu Belanda dalam pidatonya di depan sidang parlemen Belanda tahun 1901.Â
Sejak Politik Etika dicanangkan, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memiliki anggaran sendiri yang sebagian digunakan untuk membangun pendidikan, termasuk pendidikan kejuruan.Â
Di samping itu, mereka juga menunjukkan kesungguhannya untuk menyediakan pendidikan yang lebih dapat memenuhi kebutuhan orang-orang Bumiputera, bukan lagi semata-mata untuk kepentingan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Jenis Sekolah Kejuruan pada zaman Belanda
Sebagai akibat dari perhatian yang banyak dicurahkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Kejuruan, jenis pendidikan kejuruan yang didirikan menjadi sangat bervariasi, di antaranya :
- Kelompok Sekolah Keputrian (Nijverheids Onderwijs). Termasuk di dalamnya adalah Gouverments Opleding School voo Vakonderwijzeresen (OSVO) dan Mevrow de Jonge School. Keduanya adalah sekolah keputrian setingkat SMP. Lulusan dari kedua sekolah ini bisa melanjutkan pendidikannya ke Kop School atau Van Deventer School, yakni sekolah keguruan untuk keterampilan putri setingkat SMA.
- Kelompok Sekolah Teknik (Technisch Onderwijs). Di dalamnya terdapat Pendidikan Pertukangan (Ambachts Leergang dan Ambacht School), Burger Avond School, Europee Ambacht School (Sekolah Tukang khusus untuk orang Eropa), dan Koningin Wilhelmina School (KWS). KWS sebenarnya bukan sekolah teknik murni, karena ada bagian yang mengandung jurusan Sastra dan Ekonomi (KWS-A), sedangkan jurusan teknik disebut KWS-B. Dalam perkembangannya, Â didirikan pula Middlebaar Technische School. Di zaman Jepang, sekolah ini disebut Sekolah Teknik Menengah. Inilah embrio STM di Indonesia pada era modern.
- Kelompok Sekolah Perdagangan (Handel Onderwijs). Selain KWS-A yang mulai berdiri sejak 1906, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Print Hendrik School (PHS, 1911) yang bertujuan mendidik Bumi putera untuk menjadi pengawas (Opzichter). Pada tahun 1935 didirikan Middelbare Handel School (Sekolah Dagang Menengah) dengan lama pendidikan 3 tahun yang menerima lulusan dari MULO.
- Kelompok Sekolah Pertanian (Landbow Onderwijs). Pendirian sekolah kejuruan pertanian dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan perkebunan Eropa yang menggunakan pekerja dan pengawas Bumiputera. Sekolah yang masuk kelompok ini di antaranya adalah: Sekolah Pertanian (Landbow School, 1903) yang menerima lulusan SR yang berbahasa Belanda. Kemudian pada 1911 didirikan Sekolah Pertanian (Cultuur School) yang terdiri atas dua jurusan, yaitu pertanian dan kehutanan dan Sekolah Pertanian Menengah (Middelbare Landbouw School) yang menerima lulusan MULO atau HBS 3 tahun. Pada tahun 1920 pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Tani (Landbouw Bedriff School) yang menerima lulusan sekolah rakyat 5 tahun. Lama pendidikannya 2 tahun, dan menggunakan bahasa daerah setempat sebagai bahasa pengantar.
Pendidikan Kejuruan zaman Kemerdekaan
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan ini kemudian dilanjutkan hingga era pasca kemerdekaan, namun dengan pendekatan karakteristik pendidikan yang berbeda. Pada masa pemerintahan Soekarno, karakteristik pendidikan didasarkan pada pendekatan kebutuhan masyarakat akan pendidikan.Â
Secara singkat, pola pendidikan saat itu menganut prinsip; pokoknya anak bisa bersekolah; sekolah kejuruan dianggap mampu menghasilkan tamatan yang dapat langsung bekerja.Â
Hal ini menyebabkan keadaan sekolah kejuruan memprihatinkan dengan fasilitas yang sangat minim, sehingga pada saat itu ada pameo "STM Sastra".