Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Kontroversi Film "The Santri" dan Hoaks yang Menyertainya

16 September 2019   22:14 Diperbarui: 18 September 2019   23:44 23160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja merilis trailer resminya, film The Santri langsung menuai kontroversi. Tagar #BoikotFilmTheSantri menjadi trending topic di jagat twitter Indonesia.

Rencananya, film ini akan diluncurkan pada bulan Oktober, bertepatan dengan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Film ini hasil kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan sutradara Livi Zheng.

Sinopsis film The Santri

Dalam trailer resminya, film bergenre drama aksi ini mengisahkan kehidupan di sebuah pondok pesantren yang sedang mempersiapkan perayaan Hari Santri. Seorang guru menjanjikan pada para santri di sana bahwa 6 santri terbaik akan diberangkatkan dan bekerja di Amerika Serikat.

Film The Santri ini dibintangi Azmi Askandar (Gus Azmi), Veve Zulfikar, dan Wirda Mansur (putri Ustad Yusuf Mansur). Sementara KH. Said Agil Siradj, Ketua Umum PBNU didapuk sebagai Executive Producer dengan penata musik komposer Purwacaraka.

Dalam wawancaranya dengan Tirto.id, sutradara Livi Zheng mengatakan, naskah The Santri berasal dari PBNU, dengan revisi dari pihaknya.

"Iya, dong. Revisi naskah tergantung dari pasar yang hendak disasar. Apakah pasar AS atau bukan," tutur Livi kepada Tirto. Livi juga menjelaskan, The Santri sendiri dibuat untuk pasar Amerika Serikat (AS). "Aku mengusahakan supaya semua filmku masuk di AS karena distribusinya lebih gampang," tambahnya.

Kontroversi film The Santri

Setidaknya saya melihat ada 2 penggambaran yang dipermasalahkan dan menuai kontroversi dari film The Santri ini. Pertama, terletak pada penggambaran pergaulan para santri di pondok pesantren. 

Dalam trailer resminya, terlihat cuplikan adegan santri perempuan dan santri laki-laki bisa berjalan bersama tanpa ada pemisahan. Terlihat pula Azmi Askandar dan Wirda Mansur saling mencuri pandang dan tersenyum penuh makna.

Kemudian ada juga adegan Azmi tengah menemani Wirda Mansur yang sedang naik kuda, lalu memberi sebuah buku.

Sebagai orang yang dibesarkan dalam kultur NU, saya tahu persis apa yang digambarkan film The Santri tidaklah benar. Di pondok pesantren mana pun juga, setiap santri putri dan santri putra dipisah. Tidak ada ceritanya bisa berjalan beriring bersama, terlihat dengan jelas oleh santri-santri yang lainnya.

Dalam hal pembelajaran juga begitu. Tidak ada kelas pembelajaran bersama-sama. Para santri putra dididik oleh ustad, sedangkan santri putri dididik ustadzahnya dalam ruang terpisah.

Begitu pula dengan pergaulan mereka. Para santri tidak diberi kesempatan untuk bisa berduaan, apalagi oleh orang yang bukan mahram-nya.

Saya jadi ingat ketika mengunjungi adik saya di Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. Meskipun saya kakan kandungnya, saya tidak diperbolehkan masuk ke kompleks pemondokan putri. 

Begitu pula ketika Ibu saya hendak mengunjungi adik laki-laki saya yang mondok di ponpes yang sama, tidak diperbolehkan masuk ke kompleks pemondokan putra sekalipun yang ditemui putranya sendiri.

Tak salah apabila netizen kemudian bereaksi keras terhadap penggambaran kehidupan santri yang ada di film ini. Karena memang tidak sesuai dengan fakta.

Tak kurang Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas, mengajak warganet untuk memboikot film ini. Menurut menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, film itu tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya.

Bahkan banyak netizen yang menantang Livi Zheng, atau siapapun juga untuk menunjukkan pondok pesantren mana yang mengijinkan santrinya bisa bergaul bebas seperti yang diperlihatkan film The Santri.

Kontroversi kedua terletak pada adegan pemberian tumpeng oleh dua orang santri putri kepada para pastur di sebuah gereja. Dalam adegan tersebut Wirda Mansur menyerahkan tumpeng sembari mengatakan ini adalah tanda cinta.

Terus terang saya kurang setuju apabila adegan ini dianggap kontroversial. Tidak ada yang salah dengan memberikan nasi tumpeng pada pastur dan jamaah gereja yang sedang beribadah. Apalagi jika ada yang menilai adegan ini bisa merusak akidah.

Darimana rusaknya akidah? Toh dalam cuplikan yang terlihat di trailer itu dua santri putri itu tidak ikut beribadah bersama. Mereka hanya menyerahkan tumpeng sebagai bentuk tanda cinta, sebagai tanda toleransi dan menghargai keragaman agama dan kepercayaan.

Hoaks yang menyertai film The Santri

Di luar kedua penggambaran yang menuai kontroversi tersebut, saya menyayangkan adanya hoaks yang mengiringi ajakan untuk memboikot film The Santri. Seperti yang diposting oleh akun twitter @sqeuidy ini.

Dalam postingannya, terlihat potongan gambar Veve Zulfikar menyerahkan buku pada Wirda Mansyur. Pada buku itu nampak jelas pada covernya tertulis "Qurrotul Uyun". 

Ini adalah kitab kuning klasik yang berisi panduan untuk menakhodai bahtera rumah tangga dan menuntun langkah dalam menelusuri lika-liku kehidupan seksual.

Dalam kitab buah karya Syaikh Muhammad Al Tahami bin Madani ini, terdapat pula tutorial posisi berhubungan badan yang sesuai dengan adab Islam.

Padahal dalam trailer aslinya, cover buku yang diserahkan Veve Zulfikar tidak bertuliskan apapun. Saya sendiri tidak tahu apa motif di balik hoaks tersebut. 

Kemungkinan besar supaya netizen mudah terpancing emosinya karena bagaimanapun juga konsep pendidikan seks di pondok pesantren masih dianggap tabu.

Meskipun tak dapat dipungkiri, bagi banyak santri dewasa kitab Qurrotul Uyun ini sudah familiar dan saya yakin mereka pernah mengetahui dan mempelajarinya.

Saya sangat setuju film ini tidak menggambarkan kehidupan santri di ponpes dengan sebenar-benarnya. Namun saya sangat menyayangkan adanya hoaks tersebut.

Tanpa harus memfitnah, kita seharusnya bisa mengkritik film ini dengan baik dan menjelaskan seperti apa dunia santri yang sebenarnya.

Bagaimanapun juga, film adalah karya seniman, bukan karya seorang pendidik apalagi pengkhotbah. Sebagai seniman, sah-sah saja Livi Zheng mengekspresikan jiwa seninya. 

Namun, sebagai seniman pula Livi Zheng hendaknya bisa berlaku teliti dan jujur. Ketelitian dan kejujuran seorang seniman dituntut agar film yang dihasilkannya bisa dihidangkan sebagaimana adanya. Bukan dengan penggambaran palsu atau atas pesanan pihak tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun